Kewirausahaan dalam Perspektif Bisnis Syari’ah
Jurnal ini untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
FIQH 2
Dosen Pembimbing :
Jumari,
M.Pd.i
Oleh:
Widya
Rahma
D31212116
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SURABAYA
2013
ABSTRAK
Saat ini pengembangan ekonomi dan
bisnis merupakan hasil penerapan sumber daya dan teknologi. Maka, harus ada
seseorang yang berbuat untuk menerapkan kombinasi-kombinasi baru, sumber-sumber
produksi untuk kegiatan produktif. Dalam arti yang luas, fungsi itu dilakukan
oleh wirausaha atau “Enterpreneur”. Yaitu sebagai pelaku perubahan (changing
agent) yang menstransformasikan sumber-sumber daya menjadi barang dan jasa yang
sangat bermanfaat dan seringkali menciptakan keadaan yang menyebabkan perubahan
industrial. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah konsep atau teori bahkan dalil
Al-Qur’an dan hadits untuk melandasinya. Dalam penelitian ini mengkaji tentang
kewirausahaan dalam perspektif pemikiran muslim yang berlandaskan bisnis
syariah. Yang didalamnya mengkaji tentang karakteristik wirausahawan muslim,
integritas wirusahawan muslim, serta kesuksesan dalam keterkaitannya dengan
bisnis berbasis syariah Islam. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian pustaka (library research),dengan mengkaji literatur kitab
dan buku Fiqh Muamalah sebagai sumber data primer. Sedangkan dalam data
sekundernya, menggunakan berbagai kajian pustaka tentang hukum ekonomi yang berbisnis
syariah dari berbagai teori dan praktik dalam pendekatannya.
Kata Kunci: Fiqh Muamalah, bisnis, syariah,
ekonomi, wirausaha (enterpreneur).
PENDAHULUAN
Peistilahan
fiqh dapat dikonsepsikan dengan formulasi definisi berbeda-beda para ahli dan
pakar di bidang masing-masing berbeda cara menformulasikan ditinjau dari
berbagai sudut pandang tergantung cara menganalisisnya. Pengertian fiqh menurut
bahasa (lughatan). Fiqh adalah pemahaman, seperti sebuah pernyataan saya memahami
peristiwa itu.[1]
Diantara
pakar yang mengemukakan konsep dan formulasi tentang fiqh diantara Prof. Dr
Wahbah Zuhaily, bahwa hokum fiqh terkait dengan aktivitas yang dilakukan oleh
orang-orang yang mampu melakukan hokum (mukallaf), baik berupa ucapan, tindakan
akad, atau transaksi lainnya. Secara garis besarnya dikategorikan sebagai
berikut, yaitu:[2]
1.
Hukum ibadah
(fiqh ibadah) yang meliputi tatacara bersuci, shalat, puasa, haji, zakat nadzar
sumpah dan aktivitas sejenis terkait dengan hubungan seseorang hamba dengan
Tuhannya.
2.
Hukum Mua’malah
(fiqh muamalah) yang meliputi tata cara akad, transaksi, hokum pidana atau
perdata dan lainnya yang terkait dengan hubungan antar manusia atau dengan
masyarakat luas.
Menurut
Syafei (2001: 13-14) mengemukakan fiqh pada mulanya berarti pengetahuan
kaeagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah, akhlak,
maupun amaliah (ibadah), yakni sama dengan arti Syari’ah Islamiyah. Namun, pada
perkembangan selanjutnya Fiqh diartikan
sebagai bagian dari Syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hokum
syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa
dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Pada
perkembangan selanjutnya, istilah fiqh sering dirangkaikan dengan kata
Al-islami sehingga terangkai Al-Fiqh Al-Islami, yang sering diterjemahkan
dengan hokum Islam yang memiliki cakupan sangat luas. Pada perkembangan
selanjutnya, ulama fiqh membagi fiqh menjadi beberapa bidang, salah satunya
adalah fiqh muamalah.
Sedangkan
muamalah menurut bahasa adalah bentuk masdar dari kata ‘amada yang artinya
saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal. Secara istilah (syari’at)
muamalah merupakan system kehidupan. Islam memberikan warna pada setiap dimensi
kehidupan manusia, tak terkecuali pada dunia ekonomi, bisnis dan masalah
sosial. Kegiatan ekonomi yang dilakukan
bukan hanya berbasis materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental
didalamnya, sehingga bernilai ibadah.[3]
Disamping
itu pula, pengertian fiqh muamalah menurut istilah terminology syari’ah menurut Zuhaily (1986: 19-21) fiqh muamalah
pembahasannya sangat luas mulai dari hokum pernikahan, transaksi jual beli,
hokum pidana, hokum perdata, hokum perundang-undangan, hokum kenegaraan,
ekonomi, keuangan, akhlak dan etika.
Beberapa
definisi fiqh muamalah menurut para ulama dan pakar antara lain dikemukakan
oleh Suhendi (2008: 2) ia mengemukakan pendapat Hudhari Beik bahwa Muamalah
adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat. Menurut
Ahmad (1986: 1) muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya
dengan cara yang paling baik.
Dari
pemahama definisi tersebut, dapat dianalisis bahwa fiqh muamalah dalam arti
sempit terkonsentrasi pada pentaatan aturan-aturan Allah yang telah
ditetapkan berkaitan dengan interaksi
dan peilaku manusia dalam upaya memperoleh, mengatur , mengelola dan
mengembangkan harta benda (al-mal). Sedangkan
harta waris (tirkah) tidak termasuk dalam lingkup fiqh muamalah,
sebab masalah waris diatur dalam disiplin Ilmu Fiqh Mawaris yang
berdiri sendiri.[4]
Jadi,
dalam jurnal ini kami membahas tentang fiqh muamalah yang berhubungan dengan
muamalah al-Madiyah yaitu muamalah yang mengkaji segi obyeknya, yaitu benda.
Sebagian ulama berpendapat bahwa mauamalah jenis ini bersifat kebendaan, yakni
benda yang halal, haram, dan subhat untuk dimiliki, diperjual-beliakan atau
diusahakan, benda yang menimbulkan kemadaratan dan mendatangkan kemuslahatan
bagi manusia dan lain-lain.
Istilah
ekonomi bisnis ditinjau dari rangkaian katanya terdiri dari kata ekonomi dan
bisnis. Yang dimaksud dengan ekonomi adalah suatu studi mengenai bagaimana
orang menjatuhkan pilihan yang tepat, untuk memanfaatkan sumber daya produktif
(tanah, tenaga kerja, barang-barang modal, mesin dan pengetahuan teknik) yang
langka dan terbatas jumlahnya untuk menghasilkan berbagai barang, serta
mendistribusikannya kepada berbagai anggota masyarakat untuk mereka pakai atau
konsumsi. Secara singkat dapat dikatakan ekonomi adalah fenomena masyarakat
yang berusaha mencapai kebutuhannya untuk mencapai kemakmurannya.[5]
Dalam
mencapai kemakmuran tersebut, dapat ditempuh melalui bisnis, karena bisnis
merupakan bagian dari ekonomi yang mencapai kebutuhan dengan memperhatikan
kepuasan dari pemakainya. Dapat dikatakan, bisnis merupakan ekonomi atau
kesatuan organisasi ekonomi. Menurut Skiner (1992) bisnis adalah pertukaran
barang dan jasa atau uang yang saling menguntungkan atau memberikan manfaat.
Sedangkan pengertian dasar bisnis adalah suatu pelayanan melalui jual-beli
suatu barang (the buying and selling of goods and service).
Adapun
pengertian ekonomo bisnis adalah aktivitas yang menggambarkan cara bisnis dan
unit ekonomi atau kesatuan organisasi ekonomi dalam melaksanakan proses ekonomi
yang terdiri atas produksi, distribusi dan konsumsi dalam mencapai kebutuhan
dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Nimpoena (1985) ekonomi bisnis merupakan
bisnis dalam arti yang luas yaitu terkait dengan ekonomi dan politik yang
merupakan suatu hubungan yang saling tergantung dan turut mencerminkan
efektifitas dan efisiensi suatu masyarakat dengan gerak usahanya dalam mencari
keuntugan dan memenuhi kebutuhan.
Dalam
bisnis terdapat empat faktor yang perlu diperhatikan sebagai inti pelaku
bisnis, yaitu pemilik, manajer, konsumen dan pekerja. Pemilik bisnis merupakan
orang yang menanamkan uangnya dalam bisnis tertentu dengan mengharapkan
mendapat dalam bentuk keuntungan dari usaha tersebut. Manajer adalah orang yang
menjalankan bisnis tersebut dan bertanggungjawab terhadap pemilik modal ialah
manajer yang berproses yang profesional yang mampu berdaya saing komperatif
untuk menghasilkan keuntungan, menumbuh kembangakan perusahaan, memperhatikan
hidup perusahaan yang memiliki tanggung jawab.
Pemilik
bisnis yang merangkap sebagai manajer disebut dengan wirausaha (enterpreneur)
merupakan orang yang mampu memanfaatkan peluang bisnis, memperhitungkan
berbagai resiko dengan mengorganisir dan mengelola bisnis serta menerima
pendapatan dengan bentuk uang atau dengan bentuk lainnya. Perhatian pebisnis (enterpreneur)
terhadap konsumen dewasa ini nampak makin besar disebabkan persaingan dalam
bisnis semakin ketat dan adanya anggapan bahwa konsumen adalah segala-segalanya
atau disebut dengan raja dan harus dilandasi dengan sebaik-baiknya.
Peristilahan
wirausaha merupakan terjemahan dari kata enterpreneur. Kata tersebut
berasal dari bahasa Perancis enterpreneur yang berarti “bertanggung
jawab”. Secara konseptual Wirausahawan adalah orang yang bertanggun jawab dalam
menyusun, mengelola dan mengatur resiko suatu usaha bisnis. Pada masa sekarang
wirausahawan melakukan berbagai hal sehingga definisinya menjadi lebih
luas.wirausahawan adalah inovator yang mamp memanfaatkan dan mengubah
kesempatan menjadi ide yang dapat dijual atau dipasarkan, membeikan nilai
tambah dengan memanfaatkan upaya, waktu, biaya atau kecakapan dengan tujuan
mendapat keuntungan. Mereka adalah pemikir mandiri yang memiliki keberanian
untuk berbeda latar belakang dalam berbagai hal yang bersifat umum. Mereka
adalah pembawa perubahan dalam berbagai kesulitan untuk mengejar keberhasilan
usaha yang dirintis secara terencana. Kegagalan tidak dipandang sebagai akhir
perjuangan, melainkan dianggap, sebagai suatu bahan kajian yang harus
dipelajari demi tercapainya target (Machfoed dan Mahmud Machfud: 2004:1).[6]
Dalam
melakukan bisnis seorang wirausahawan perlu mempunyai desain produk, strategi
pemasaran, dan solusi dalam mengatasi problem manajerial yang kreatif untuk
bersaing dengan perusaahan yang lebih besar. Seorang wirausahawan adalah
seorang pemburu yang mengorganisir, mengelola dan mengasumsikan segala resiko
pada saat dia memulai usahanya untuk mendapatkan keuntungan.
Seorang
wirausahawan selalu mengembangkan enterpreneursipnya dengan mengandalkan otak kiri
dan otak kananya dalam memanfaatkan ide-idenya yang baru dalam mewujudkan
produk baru, metode-metode baru, menemukan pola layanan baru dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi. Wirausaha merupakan kemampuan untuk
berpikir dan merupakan sebuah tindakan yang konstruktif dalam mewujudkan
berbagai pola produksi dan layanan secara baru.
Dibawah ini
merupakan firman Allah swt. yang berkaitan dengan pola pemikiran yang
konstruktif, yaitu:
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي
خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ
فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha
Suci Engkau, Maha peliharalak Kami dari siksa api neraka.” (Q.S. Ali-Imran:
191)
Dalam ayat
tersebut kata berpikir (وَيَتَفَكَّرُونَ) dengan pola pemikiran
yang kreatif dengan kejadian langit dan bumi serta segala potensinya.
Wirausahawan sebagaimana diungkapkan tadi mempunyai karakteristik pemikiran
yang kreatif dan inovasi serta mempunyai perilaku atau tindakan yang produktif
dalam mewujudkan pembaharuan dalam bidang pembangunan ekonomi dan bisnis.
METODE
Jenis penelitian yang penulis
gunakan dalam penelitian ini, adalah penelitian pustaka (library research),
dengan mengkaji buku fiqh muamalah sebagai sumber data primer. Adapun sumber
data sekunder, penulis akan menggunakan berbagai pustaka yang mengkaji tentang
bisnis syariah dalam pendekatan ekonomi dan manajemen doktrin, teori dan
praktik.
PEMBAHASAN
Dalam
permasalahan ini membicarakan tentang kewirausahaan dalam perspektif pemikiran
muslim berbasis bisnis syariah dengan bahasan mengenai konsep dan perspektif
usahawan muslim, karakteristik usahawan muslim, integritas wirausahawan muslim,
serta implementasi investasi bisnis syariah dalam kegiatan kewirausahaan.
A.
Konsep dan
Perspektif Wirausaha Muslim
Para
pemikir Islam menempatan Al-Qur’an sebagai sumber hukum, bahwa kehidupan
akhirat dibandingkan dengan kehidupan dunia jelas sangat tegas, bahwa kehidupan
dalam akhirat itu lebih baik dan lebih kekal, sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-A’la: 17:[7]
وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
Artinya: “Sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Firman yang lain menyebutkan:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ
وَمَا فِي الأرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ
مُنِيرٍ
Artinya: “Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir
dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah
tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
(QS. Al-Luqman: 20)
Dari
ayat-ayat di atas disimpulkan sebagai berikut, yaitu:
1.
Fokus
perhatian untuk kehidupan akhirat tidak berarti kehidupan akhirat menolak
kehidupan dunia.
2.
Mengejar
kehidupan akhirat itu dapat dilakukan dengan berbuat baik kepada orang lain dan
tidak berbuat kerusakan.
3.
Kehidupan dunia
dengan menikmati anugerah Allah merupakan hak manusia baik yang lahir maupun
yang batin.
Sehubungan
dengan ayat dan kesimpulan tersebut, bekerja dan berusaha termasuk
berwirausaha, boleh dikatakan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan
manusia di dunia menuju akhirat. Karena keberadaannya sebagai ‘khalifah fil
ardh’ dimaksudkan untuk memakmurkan bumi dan membawanya kea rah yang lebih
baik, firman Allah dalam Al-Qur’an surat Hud: 16.
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ
وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di
akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang
telah mereka kerjakan.”
Maksud ayat di atas adalah
manusian dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.
Dalam suatu kenyataan bahwa aktivitas berwirausaha merupakan bidang
kehidupan yang kurang berkembang secara memuaskan di kalangan masyarakat
pribumi atau masyarakat muslim Indonesia. Banyak faktor
psikologi yang membentuk sikap negative masyarakat terhadap profesi wirausaha.
1.
Image lama yang
melekat pada orang yang aktif di bidang ini, antara lain sikap agresif,
ekspansif, bersaing tidak jujur, kikir, dan sumber penghasilan tidak stabil.
2.
Sikap tidak
tetarik pada kegiatan wirausaha itu juga dipicu oleh pemahaman yang terlalu
dangkal terhadap ajaran agama.
Kondisi
yang memprihatinkan akibat tradisi dan pemahaman ini akhirnya membuat seseorang
kurang menyentuh kewirausahaan, dan pada gilirannya menyebabkan negeri kita
sangat tertinggal bila dibandingkan dengan Negara-negara berkembang seperti
Singapura, jepang, Hongkong, Korea bahkan Malaysia.
Paling
tidak ada dua alasan mengapa kewirausahaan perlu dikembangkan di Indonesia,
dengan penduduk yang mayoritas muslim ini:
1.
Kenyataan
dari sejumlah kenyataan yang ada, masih sangat sedikit yang tertampung dalam
lapangan kerja, sehingga pembukaan lapangan kerja baru menjadi suatu
keniscayaan dalam pemberdayaan masyarakat Indonesia.
2.
Nabi Muhammad
saw yang merupakan suri tauladan yang baik bagi umat Islam, adalah seorang
pedagang yang ulet, jujur, amanah serta professional. Bahkan kredibilitas dan
integritas pribadinya sebagai pedagang mendpat pengakuan, bukan hanya dari kaum
muslimin, namun juga orang Yahudi dan Nasrani.
B.
Karakteristik
Wirausaha Muslim
Sebagai
konsekuensi pentingnya kegiatan wirausaha, Islam menekankan pentingnya
perkembangan dan penegakan budaya kewiusahaan dalam kehidupan setiap muslim.
Budaya kewirausahaan muslim itu bersifat manusia religious, berbeda dengan
budaya profesi lainnya yang tidak menjadikan pertimbangan agama sebagai
landasan.
Dengan demikian, seseorang wirausahawan muslim akan
memiliki sifat-sifat dasar yang mendorong untuk menjad pribadi yang kreatif dan
handal dalam menjalankan usahanya atau menjalankan aktivitas pada perusahaan
tempatnya bekerja. Sifat-sifat dasar itu di antaranya adalah sebagai betikut:
1.
Selalu menyukai
dan menyadari adanya ketetapan dan perubahan. Ketetapan ditemukan antara lain
pada konsep akidah. Q.S. Ar-Ra’ad: 11.
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ
يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ
حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا
فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
2.
Bersifat inovatif, yang membedakannya dengan
orang lain. Al-Qur’an menempatkan manusia sebagai khalifah dengan
tugas memakmurkan bumi, dan melakukan perubahan serta perbaikan sebagaimana
firman Allah dalam surat Hud 61.
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا
اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ
وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي
قَرِيبٌ مُجِيبٌ
Artinya: “Dan kepada Tsamud (Kami
utus) saudara mereka Saleh. Saleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari
bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya,
kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya)
lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
3.
Berupaya secara
sungguh-sungguh untuk bermanfaat bagi orang lain. Ada beberapa hadits Nabi saw yang menjeaskan tentang
keharusan seseorang untuk bermanfaat bagi orang lain. Berbagai hadits
Rasulullah saw dijelaskan dibawah ini yang artinya:
“Manusia terbaik
adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain.”
4.
Selalu menyukai
dan menyadari adanya ketetapan dan perubahan. Ketetapan
ditemukan antara lain pada konsep akidah (Q.S. Al-Anbiya’: 125). Sementara
perubahan dilaksanakan pada masalah-masalah muamalah termasuk peningkatan
kualitas kehidupan (Q.S. Ar-Ra’d: 11).
5.
Karakter dan
kepribadian dibentuk secara berkelanjutan, bukan hanya untuk sesaat atau untuk
dirinya sendiri, atau orang sesamanya. Tetapi juga untuk
jangka yang lebih panjang, bagi generasi-generasi sesudahnya. Jadi dibutuhkan
pelembagaan bagi sistem kerja para karyawan. Banyak hadits dan ayat-ayat
Al-Qur’an yang memberikan bimbingan dalam hal ini diantaranya:
“Bekerjalah kamu
untuk dunia seolah-olah engkau hidup selama-lamanya, dan bekerjalah kamu untuk
akhirat, seolah-olah kamu akan mati esok hari.” (HR. Bukhari)
Dalam usaha
bisnis haruslah dibangun dengan berkelanjutan, bukan hanya unruk sesaat atau
melainkan umtuk kepentingan individu. Melainkan untuk jangka waktu yang lebih
panjang dan bagi generasi-generasi yang selanjutnya. Dan bukan hanya diusahakan
berjalan baik pada masanya, tetapi juga mengalami perkembangan. Banyak hadits
dan ayat-ayat yang memberikan bimbingan dalam hal ini diantaranya adalah:
“Bekerjalah
kamu untuk duniamu seolah-olah engkau hidup selama-lamanya, dan bekerjalah kamu
untuk akhirat, seolah-olah kamu akan mati esok hari.” (HR. Bukhari)
“Sekiranya
kamu tahu bahwa engkau akan mati esok hari, silahkan kamu menanam kurma hari
ini.” (HR. At-Thabrani)
Adapun obyek
usaha bisnisnya haruslah yang halal, sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“Barangsiapa
yang dagingnya tumbuh dari yang haram, maka Allah mengharamkan jasadnya
daripada surga.”(at-Thabrani)
C.
Integritas
Wirausahawan Muslim
Keberhasilan
seorang wirausahawan muslim bersifat independent. Artinya, keunggulan berpusat
pada integritas pribadinya, bukan dari luar dirinya. Hal ini akan menimbulkan
kehandalan menghadapi tantangan, juga merupakan garansi tidak terjebak dalam
praktek-praktek negatif yang bertentangan dengan peraturan,baik peraturan
negara maaupun peraturan agama. Integritas wirausahawan muslim tersebut dalam
sifat-sifat sebagai berikut:[8]
1.
Takwa, tawakal, zikir dan
bersyukur. Seorang wirausahawan muslim memiliki keyakinan yang kukuh terhadap kebenaran
agamanya sebagai jalan keselamatan, dan bahwa dengan agamanya ia menjadi
unggul.
2.
Motivasi wirausaha muslim
bersifat vertikal dan horizontal. Secara horizontal terlihat pada dorongannya
untuk mengembangkan potensi dirinya dan keinginannya untuk selalu mencari
manfaat sebesar mungkin bagi orang lain. Sementara secara vertikal dimaksudkan
untuk mengabdi diri keada Allah swt. Motivasi disini berfungsi sebagai pendorong,
penentu arah, dan penetapan skala prioritas.
3.
Niat suci dan ibadah.
Islam menekankan bahwa keberadaan manusia di dunia adalah untuk mengabdikan
diri pada-Nya; (QS. Al-Dzariyat: 56). Bagi seorang muslim, menjalankan usaha
merupakan aktivitas ibadah, sehingga ia harus memulai dengan niat yang suci.
Sebab dengn itulah ia akan memperoleh garansi keberhasilan dari Tuhan.
4.
Memandang status dan
profesi sebagai amanah. Seseorang wirausahawan muslim senantiasa menyadari
bahwa statusnya atau profesinya sebagai amanah.
5.
Aktualisasi diri untuk melayani.
Wirausahawan muslim senantiasa berusaha untuk mengaktualisasikan dirinya,
melayaninya (antum a’lamu bi umuuri dunyakum), melayani konsumen atau
orang-orang yang menaruh harapan kepada kerjanya. Berusaha selalu memberikan
pelayanan terbaik kepada orang atau lembaga yang berusaha membantu memajukan
usahanya.
6.
Mengembangkan jiwa bebas
merdeka. Bagi wirausaha muslim, perlu memiliki jiwa bebas-merdeka. Baginya
rahmat dan rezeki-Nya sangat tidak terbatas, sehingga cara dan upaya untuk
mencapainya sangat luas.
7.
Adzan bangun lebih pagi.
Rasulullah saw mengajarkan kepada agar kita mlai bekerja sejak pagi hari.
Karena pada saat itu malaikat pun turun membagi rezeki sejak terbit fajar
sampai terbenamya matahari.
8.
Selalu berusaha
meningkatkan ilmu dan keterampilan. Ilmu pengetahuan dan keterampilan, dua
pilar bagi pelaksaan suatu usaha. Oleh karenya, memang perusahaan berdasarkan
ilmu keterampilan di atas landasan iman dan ketakwaan merupakan salah satu kunci
keberhasilan seorang wirausahawan muslim.
9.
Semangat hijrah. Seorang
wirausahawan muslim perlu memiliki semangat hijrah. Hjrah merupakan strategi
Nabi Muhammad saw, yang pantas diteladani dan sangat cocok untuk diterapkan
dalam dunia bisnis. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa’: 100.
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الأرْضِ مُرَاغَمًا
كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di
muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa
keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka
sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
10.
Keberhasilan
memulai. Keberhasilan seringkali bukan merupakan bawaan lahir. Sebab, setiap
orang dapat mengembangkan keberaniannya, dan bila dilakukan secara
sungguh-sungguh keberanian tersebutbkan berkembang dan berdayaguna.
11.
Memulai
usaha dengan modal sendiri walaupun kecil. banyak orang yang berpendapat, bahwa
uang adalah modal utama usaha dan harus tersedia dalam umlah yang cukup atau
besar. Memang uang diperlukan untuk modal usaha, tapi bukan merupakan
satu-satunya dalam membuka usaha. Akan tetapi ada modal lain yaitu semangat,
kesungguhan, dan karakter serta skill atau kreativitas.
12.
Bersikap
jujur. Kejujuran merupakan salah satu kunci dalam kesuksesan seorang
wirausahawan sebab suatu usaha tidak akan berkembangan tanpa adanya bantuan
dari orag lain. Sementara kesuksesan dan kelanggengan hubungan denagn orang
lain atau pihak lain, sangat ditentukan oleh kejujuran kedua belah pihak.
13.
Suka
menyambung tali silaturrahmi. Seorang wirausahawan haruslah sering melakukan
silaturahmi dengan mitra bisnis dan bahkan juga dengan konsumennya. Sebab dalam
perspektif Islam, silaturahmi selalu eningkatkan ikatan persaudaraan juga akan
membuka peluang bisnis.
14.
Memiliki
komitmen pada pemberdayan. Dalam perspektif Islam keberhasilan seseorang dalam
usahanya bukanlah mutlak merupakan hasil kerjanya, melainkan merupakan kerja
kolektif sejumlah manusia yang terkait dengannya.
15.
Menunaikan
zakat, infak, dan shadaqah (ZIS), harus menjadi budaya wirausahawan muslim.
Menurut pandangan Islam sudah jelas, harta yang digunakan untuk membayar ZIS,
tidak akan hilang, bahkan menjadi tabungan kita yang akan dilipat gandakan oleh
Allah, di dunia dan di akhirat kelak.
16.
Puasa
sunnah. Hubungan antara bisnis dan keluarga ibarat dua sisi mata uang, sehingga
satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Sebagai seorang enterpreneur.
Di samping menjadi pemimpin di rumah tangganya. Dengan menjalankan puasa-puasa
sunnah, bahkan membiasakannya meupakan usaha yang sangat mulia dan akan sangat
mendukung usaha.
17.
Shalat
sunnah. Shalat-shalat sunnah seperti, shalat sunnah wudhu, rawatib, tahajud,
witir, fajar dan shalat sunnah dhuha juga sangat penting dilaksanakan, sehingga
suasana keluarga akan terasa sejuk dan selalu dalam suasana agamis.
18.
Mengasuh
anak yatim. Sebagai pengusaha, mengasuh anak yatim merupakan kewajiban.
Mengasuh dan memelihara dalam arti memberikan kasih sayang dan nafkah.
19.
Menyantuni
fakir miskin. Menyantuni fakir miskin adalah pekerjaan yang sangat mulia di
sisi Allah dan merupakan tabungan kita untuk di akhirat. Kalau kita menabung
untuk di akhirat, maka dunia otomatis akan bisa diraih. Jadi, dengan kata lan,
kalau kita ingin dikayakan oleh Allah maka kita harus mau dan berani
mengkayakan orang lain, atau dengan jalan menyantuni fakir miskin.
20.
Mengembangkan
sikap toleransi dan bersedia mengakui kesalahan. Toleransi, tenggang rasa
merupakan sikap yang penting dimiliki wirausahawan. Dengan adanya sifat
tersebut, maka seorang wirausahawan mudah bergaul, fleksibel, pandai dalam
melihat kondisi dan situasi, teguh memegang prinsip namun tidak kaku dalam
berhubungan dengan pihak lain.
Bersedia mengakui kesalahan dan suka bertaubat. Kesalahan dan kegagalan
bagi wirausahawan muslim merupakan hal berharga dan bisa menjadi guru di
kemudian hari. Dengan demikian, ia akan selalu melakukan intropeksi diri, tanpa
harus diketahui publik.
Berdasarkan prinsip itu, maka seorang wirausahawan muslim
memiliki mental yang tangguh dalam menghadapi segala tantangan; (QS. Al-Taubah:
9), dan memiliki keyakinan yang tinggi bahwa ia dapat mengatasi segala
tantangan dan kegagalan yang ada, sebagaimana firman Allah dalam surat
Al-Zumar: 53.
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا
تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا
إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Artinya: “Katakanlah: "Hai
hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam hubungan ini dengan surat An-Nisa ayat 48.
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا
عَظِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah,
maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
D. Implementasi Investasi Pada Bank
Syariah dalam Kegiatan
Kewirausahaan
Dalam praktik investasi di bank syariah, akad sesuai dengan prinsipnya
mudharabah, yang bertujuan kerjasama antara pemilik modal (shahibul mal)
dengan pengelola manajer pihak bank (mudharib). Midharabah dibagi
menjadi dua jenis, yaitu:[9]
1.
Mudharabah
Mutlaqah
Dalam mudharabah
mutlaqah ini dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.
Pemilik
modal tidak (shahibul mal) tidak memberikan batasan-batasan (retriction)
atas dana yang diinvestasikan. Pengelola (mudharib) diberi
kewenangan penuh mengelola dana tersebut tanpa terikat waktu, jenis usaha dan
jenis pelayanannya.
b.
Aplikasi
perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah time deposit biasa.
Dari
prinsip investasi sistem Mudharabah Mutlaqah terdapat berbagai hal yang berbeda dengan secara fundamental dalam hal nature
or relationship between bank and customer pada bank konvensional (Antonio,
2009: 151), sebagai berikut, yaitu:
(1)
Penabung
atau deposan di bank syariah adalah milik investor dengan sepenuhnya. Dia bukan
leader atau creditor bagi bank seperti halnya pada bank umum.
Dengan demikian secara prinsip menabung dan deposan entelet untuk risk
dan return dari hasil usaha bank.
(2)
Bank
memiliki dua fungsi kepada deposan atau penabung, ia bertindak sebagai
pengelola (mudharib), sedang pada dunia usaha berfungsi sebagai pemilik
dana (shahibul mal). Denagn demikian bank ke kiri maupun ke kanan harus shering
risk dan return.
(3)
Dunia usaha
berfungsi sebagai pengguna dan pengelola dana yang harus berbagi hasil dengan
pemilik dana yaitu bank. Dalam penggunaannya nasabah pengguna dana dapat juga
menjalin hubungan dengan bank dalam bentuk jual beli, sewa dan fee based
service.
2.
Mudharabah
Muqayyadah
Dalam mudharabah
muqayyabah ini dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.
Pemilik
modal (shahibul mal) memberikan batasan atas dana yang
diinvestasikannya. Pengelola (mudharib) hanya bisa mengelola dana
tersebut sesuai dengan batasan yang diberikan oleh pemilik dana. Misalnya hanya
untuk usaha tertentu saja, tempat tertentu, waktu tertentu dan lain-lain.
b.
Aplikasi
perbankan sesuai dengan akad ini adalah special investment.
Dalam
investasi dengan menggunakan konsep mudharabah muqayyabah pihak bank
terkait dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh shahibul mal misalnya jenis investasi, waktu dan tempat.
Produk special invesmet baced on resticted mudharabah ini sangat sesuai
dengan special hight networth individuals atau company yang memiliki
kecenderungan investasi khusus.
Di samping itu special invesmet
merupakan modus funding dan financing, sekaligus yang cocok pada saat-saat
krisis dan sektor perbankan mengalami kerugian yang menyeluruh. Dengan special
invesmet investor tertentu tidak perlu penanggung overhead bank yang
terlalu besar, karena seluruh dananya masuk ke proyek khusus dengan return dan
cost yang dihitung khusus pula.[10]
KESIMPULAN
Pemilik bisnis
yang merangkap sebagai manajer disebut dengan wirausaha (enterpreneur)
merupakan orang yang mampu memanfaatkan peluang bisnis, memperhitungkan
berbagai resiko dengan mengorganisir dan mengelola bisnis serta menerima
pendapatan dengan bentuk uang atau dengan bentuk lainnya. Perhatian pebisnis (enterpreneur)
terhadap konsumen dewasa ini nampak makin besar disebabkan persaingan dalam
bisnis semakin ketat dan adanya anggapan bahwa konsumen adalah segala-segalanya
atau disebut dengan raja dan harus dilandasi dengan sebaik-baiknya.
Sebagai
seorang wirausaha, kita ingin mendapat pekerjaan yang layak dengan memanfaatkan
peluang usaha, mendapat kepuasan dari pekerjaan dan ingin mendapat tantangan
serta harapan untuk masa depan. Seorang wirausaha dapat memadukan pikiran yang
kreatif dan imajinatif dengan kemampuan proses yang logis dan sistematis,
perpaduan ini merupakan kunci keberhasilan. Lebih dari itu seorang wirausaha
yang potensial selalu menjadi kesempatan dan peluang yang unik untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginan. Disamping itu, juga seorang wirausaha tidak bisa
terlepas dari investasi atau penanaman modal untuk usahanya. Berinvestasi
dengan berbasis syariah sangat menunjang dalam kewirausahaan muslim
dikarenakan, tidak dikhawatirkan akan terjadinya kecurangan dan unsur riba di
dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul, Ekonomi
Islam Analisis Mikro dan Makro, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Alama
dan Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syari’ah, Bandung: Alfabeda,
2009.
Ghazaly, Abdur,
Rahman. dkk, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2012.
Hasan, Ali, Manajemen
Bisnis Syari’ah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Nawawi, Ismail, Fiqh
Muamalah Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial, Jakarta: CV Dwiputra Pustaka Jaya, 2010.
, Bisnis
Syariah Pendekatan ekonomi dan Manajemen Doktrin, Teori dan Praktik, Jakarta:
CV Dwiputra Pustaka Jaya, 2012.
Mitchaell,
Makmuri, Budaya Bisnis Internasional, Jakarta: PPM, 2001.
[1] Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah
Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial, (Jakarta: CV Dwiputra Pustaka Jaya, 2010),
hal. 12.
[2] Ibid., 13.
[3] Ibid., 14.
[4] Ibid., 16.
[5]
Nawawi, Ismail, Bisnis Syariah
Pendekatan ekonomi dan Manajemen Doktrin, Teori dan Praktik, (Jakarta: CV
Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), hal. 1.
[6] Ibid., 126.
[7] Ibid., 151.
[8] Ibid., 168.
[9]
Ismail Nawawi, Bisnis Syariah (Pendekatan
ekonomi dan Manajemen Doktrin, Teori dan Praktik), (Jakarta: CV Dwiputra
Pustaka Jaya, 2012), hal.497.
[10] Ibid.,499.
makalahnya bagus,, makasih tambah ilmu bermanfaat
BalasHapusMbak... Gmna caranya download????
BalasHapusMumet woiiiiii
BalasHapus