Kamis, 09 Januari 2014

POSITIVISME DAN EVOLUSIONISME


BAB I
PENDAHULUAN



A.      Latar Belakang
Sebelum tahun 1300 manusia selalu mengaitkan fenomena yang terjadi disekitarnya baik itu fenomena alam maupun fenomena sosial dengan kehendak roh, dewa atau tuhan. Hal ini menjadi dasar pemikiran mutlak manusia. Hingga akhirnya berkembang pada tahap metafisik yang menggeser kekuatan supranatural dengan kekuatan abstrak seperti “alam”,“nasib” dan sebagainya, sehingga kekuatan supranatural bukan lagi alasan yang mendominasi untuk menjelaskan kejadian atau fenomena disekitar manusia. Sampai akhirnya, pada tahun1800 berakhirlah cara berpikir teologis dan metafisik. Dalam makalah ini, kami mengkaji mengenai lahirnya teori positivisme dan evolusionisme.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dikaji dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana perkembangan konsep positivisme dan cara berpikir manusia yang dikemukakan oleh August Comte ?
2.      Bagaimana perkembangan teori evolusionisme oleh pemikiran Charles Darwin ?

C.      Tujuan Penelitian
1.    Mengetahui pengertian dan aliran-aliran dalam teoripositivisme.
2.      Mengetahui pengertian dan pemahaman teori evolusionisme.

BAB II
LANDASAN TEORI


  1. TEORI POSITIVISME
                       
1.                Riwayat HidupAuguste Comte
Auguste Comte merupakan filosof dan warga negara Perancis yang hidup di abad ke-19 setelah revolusi Perancis yang terkenal itu. Ia lahir di Montpellier, Perancis, pada tanggal 19 Januari 1798, dari keluarga pegawai yang beragama Katolik .Ia belajar di sekolah Politeknik di Paris, tetapi ia dikeluarkan karena ia seorang pendukung Republik, sedangkan sekolahnya justru royalistis.[1]
. Karya utama A.Comte adalah Cours de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, dalam karyanya inilah Comte menguraikan secara singkat pendapat-pendapat positif, hukum tiga stadia, klasifikasiilmu-ilmu pengetahuan dan bagan mengenai tatanan dan kemajuan. [2]

2.                Pengertian Positivisme
Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi  titik tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) kemasa depan. [3]


3.        Pemikiran Para Tokoh Tentang Teori Positivisme

a.      Auguste Comte danhukumtigatahap
Di antara karya-karyanya  Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitive dapat dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya itulah  yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan manusia.
Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap positif.
1.      Tahap Teologis
Pada zaman ini, manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat kekuasaan kodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Zaman teologi sini dibagi menjadi tiga periode.
Ketiga periode tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Animisme, pada tahap ini merupakan tahapan yang paling primitive, karena benda-benda sendiri dianggapnya mempunyai jiwa.
2.      Politeisme, pada tahap ini merupakan perkembangan dari tahap animisme, dimana pada tahap ini manusia percaya pada banyak dewa yang masing-masing menguasai suatu lapang tertentu. Seperti; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar, dan sebagainya.
3.      Monoteisme, tahap monoteisme ini lebih tinggi dari dua tahap sebelumnya. Karena pada tahapan ini manusia hanya memandang satu Tuhan. 
      Maksud dari pernyataan diatas yaitu, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak.  Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.[4]

2.      Tahap Metafisis
Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam.[5]

3.      Tahap positif
Pada tahap ini, orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.[6]
Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukursinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif.[7] Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.

4.      Susunan Ilmu Pengetahuan  
Ilmu pengetahuan tidak semuanya mencapai kematangan yang sama pada saat  bersamaan. Oleh karena itu, memungkinkan untuk melukiskan perkembangan ilmu pengetahuan berdasarkan rumitnya bahan yang dipelajari didalamnya. Urutan ilmu pengetahuan tersusun sedemikian rupa sehingga yang satu selalu mengandalkan ilmu pengetahuan yang lahir mendahuluinya. Dengan demikian Comte membedakan enam ilmu pokok : matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi dan sosiologi. Jadi, semua ilmu pengetahuan dapat dijabarkan kepada salah satu dari keenam ilmu tersebut.

Ilmu pasti merupakan ilmu yang paling fundamental atau mendasar dan menjadi pembantu bagi semua ilmu lainnya. Selain relasi-relasi matematis, astronomi juga membahas tentang gerak. Dalam fisika ditambah lagi dengan penelitian materi. Sedangkan kimia membahas proses perubahan yang berlangsung dalam materi tersebut. Perkembangan selanjutnya adalah biologi yang kini membicarakan tentang kehidupan. Dan akhirnya sampailah pada puncak ilmu pengetahuan  yang dinamakan sosiologi, yang mengambil objek penyelidikannya gejala-gejala kemasyarakatan yang terdapat pada makhluk-makhluk hidup. Oleh karena itu, sosiologi merupakan puncak dan penghabisan untuk usaha manusia seluruhnya. Dan sosiologi baru dapat berkembang sesudah ilmu-ilmu lain untuk mencapai kematangan. Dengan merancang sosiologi, Comte mempunyai maksud praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum-hukum yang menguasai masyarakat dan mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna. [8]

b.      JS. Mill
Jhon Stuart Mill (1806-1873) sangat mengagumi usaha positivisme dan menjadi salah seorang sahabat Comte. Bertentangan dengan Comte, Mill menerima psikologi sebagai ilmu, bahkan menurut dia psikologi merupkan ilmu yang paling fundamental atau dasar. Karena psikologi mempelajari penginderaan-penginderaan dan cara pensusunannya. Psikologi harus memperlihatkan bagaimana asosiasi penginderaan satu dengan penginderaan lain diadakan menurut hukum-hukum tetap. Itulah yang menjadi dasar  bagi semua ilmu lain, termasuk juga logika.[9]
Maka dari itu, Mill meneruskan prinsip-prinsip positivisme dalam bidang logika. Karena seluruh pengetahuan kita berasal dari pengalaman, maka metode yang digunakan adalah metode induktif, merumuskan suatu hukum umumdengan bertitik tolak dengan sejumlah kasus khusus. Hukum-hukum logika merupakan hasil dari induksi, diantaranya hukum kausalitas (sebab-akibat). Dengan demikian, Jhon Stuart Mill menggunakan sistem atau pemikiranya dalam segala ilmu, baik untuk logika serta ilmu jiwa, maupun kesusilaan.[10]

B.     TEORI EVOLUSIONISME

1.       Riwayathidup Charles Darwin

Darwin adalah seorang ahli pengetahuan alam (naturalis) berkebangsaan Inggris. Teorinya tentang evolusi organik melewati seleksi alamiah telah menyebabkan perubahan besar dalam sains biologi, filsafat, dan pemikiran keagamaan. Ia mendapat pendidikan di Universitas Edinburgh dan Universitas Cambridge. Kemudian ia menggabungkan diri dengan ekspedisi Inggris di kapal H.M.S. Beagle untuk melakukan penyelidikan selama lima tahun (1831-1836) tentang tumbuh-tumbuhan, binatang, fosil, dan bentukan-bentukan geologi di tempat-tempat jauh yang terpencil, kebanyakan di pantai Amerika Selatan dan pulau-pulau di samudera pasifik. Karyanya yang cukup besar adalah Origin of Species ditulis tahun 1859 dan Descent of Man (1871) yang telah memberikan bukti dengan fakta kepada anggapan bahwa spesies-spesies itu mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya dalam garis ke atas dan bahwa manusia itu berasal dari kelompok binatang yang sama seperti simpanse dan kera. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan dalil Al-Qur’an yang terkandung dalam surat Al-Mukminun ayat 15 yang berbunyi :
  

          Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”
2.       Pengertian Evolusionosme

Evolusionisme atau teori evolusi adalah suatu interpretasi tentang bagaimana proses perkembangan segala bentuk kehidupan, baik evolusi dalam arti biologi maupun evolusi dalam arti evolusi organik. Teori evolusi tidak sama dengan darwinisme. Darwinisme adalah suatu penjelasan bagaimana suatu jenis dapat muncul dari jenis yang lain. Dalam bagian ini, terlebih dahulu kita akan berkenalan dengan Charles Darwinserta beberapa buah pemikirannya.

3.       Pemikiran para tokoh tentang teori evolusionisme

a.         Charles R. Darwin (1809-1882)
Bagian pertama dari teori evolusi ini menyatakan bahwa bentuk-bentuk yang beraneka ragam itu telah tercipta dan berkembang secara berangsur-angsurdari suatu tingkat asal yang rendah. Walaupun doktrin ini bukan yang mula-mula, namun kini telah diterima secara umum. Jasa Darwin dalam hal ini ialah kemampuannya dalam memberikan sekumpulan fakta dan bukti-bukti ilmiah terhadap doktrinnya yang sebelumnya kurang begitu di kenal.
SedangkanBagian kedua dari teori darwin ialah tentang perjuangan hidup dan kelangsungan hidup bagi yang paling sesuai atau suatu struggle for life and the fitettes. Teori ini mempunyai implikasi kepada tahap perkembangan flora dan fauna. Flora dan fauna yang mampu bertahan hidup adalah yang paling baik nasibnya dan paling tahan terhadap lingkungan sekitarnya.
Dalam prinsip Darwin, tidak ada bedanya antara manusia dengan binatang. Karena perkembangan ini terbuka juga kemungkinan, bahwa kemudian hari akan timbul dari manusia sesuatu yang lebih sempurna dari manusia yang sekarang ini.
Sebenarnya evolusi Darwin ini dari sudut pandang filsafat tidak amat banyak bedanya dari positivisme tentang pendapatnya mengenai pengetahuan.[11]
Oleh karena yang memajukan teoori ini Darwin, teori ini ada yang menyebut Darwinisme.

b.      Herbert Spencer

Seluruh pemikiran Herbert Spencer (1820-1903) berpusat pada teori evolusi. Dalam hal itu mendahului Charles Darwin. Sembilan tahun sebelum terbitnya karya Darwin yang terkenal, The Origin of Spesies (1859), Spencer sudah menerbitkan sebuah bukutentangevolusi. Ketika ia memahami betapa pentingnya prinsip evolusi dan terdorong pula oleh buku baru karangan Darwin  yang terbit pada tahun 1859, ia memutuskan untuk menulis karya yang menerapkan prinsip evolusi secara sistematis pada semua lapangan ilmu pengetahuan yang berjudul System of Syhntetic Philosophy(1862).[12]
Dalam etikanya Spencer berpendapat demikian: manusia selalu meyesuaikan diri dengan keadaan yang mengelilinginya. Tindakan mausia itu susila, jika sesuai dengan kelilingnya, artinya: jika tindakan itu akan menambah kebahagiaan subyek yang bertindak itu, keturunannya serta sesama manusia. Oleh karena dasar segala-galanya itu evolusi, maka selalu mungkin berlainan isinya, sehingga hukum kesusilaan itu mungkin berbeda-beda, karena           hukum ini pun berkembang. Oleh karena manusia itu keturunan nenek moyangnya, maka amat mudah dan hampir dengan sendirinya ia mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.[13]






4.       Kesalah Tafsiran Tentang Manusia
Untuk memahami evolusi, kita harus menjauhkan diri dari kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan tentang manusia yang sering terjadi.
Pertama, teori evolusi tidak berarti atau mengandung arti bahwa semua bentuk yang hidup cenderung mengarah kepada manusia, atau bahkan jenis yang ada itu tentuakan menjadi jenis lain. Teori evolusi tidak berarti bahwa manusia berasal dari monyet atau monyet yang lebih sempurna. Manusia mempunyai asal-usul yang panjang, dapat ditelusuri sampai jenis manusia purba.
Kedua, teori evolusi tidak sama dengan teori Darwinisme.
Ketiga,teori evolusi adalah interpretasi deskriptif tentang bagaimana suatu jenis menjelma dari jenis yang lain. Interpretasi semacam itu mungkin bersifa tmekanisme vitalis dan teologis, mungkin juga bersifat theistic (ber-kebutuhan) atau non-theistic (tidak berkebutuhan).
Keempat, teori evolusi tidak seharusnya mengingkari agama atau kepecayaan kepada Tuhan.





BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan

Filsafat positifisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, segala yang diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta tersebut kita atur untuk dapat memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan).
Pemikiran Charles Darwin mendominasi pemikiran filsafat abad ke-18. Hipotesis  Darwin hanyalah khayalan dan imajinasi semata-mata, tidak berdasarkan kepada penemuan atau eksperimen sains. Teori Evolusionisme menyatakan bahwa makhluk hidup membentuk diri mereka sendiri secara mandiri dari benda mati. Namun, ini adalah dongeng takhayul abad pertengahan yang bertentangan dengan hukum dasar biologi.



B.     Saran
Saya berharap makalah ini dapat memberikan kontribusipositifdanbermaknadalam proses belajar mengajar. Serta makalah ini juga dapat dijadikan sebagai perspektif yang baik kedepannya nanti, supaya tidak terjadi kesalah tafsiran mengenai teori dan aliran-liran tersebut.





DAFTAR PUSTAKA

Maksum, Ali, et.al.,ParadigmaPendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari “VisiBaru” atas “RealitasBaru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004
Wibisono, Koento, ArtiPerkembanganmenurutPositivisme Comte, Yogyakarta: GadjahMada University Press, Cet. II, 1996
Deltgauw, Bernard, SejarahRingkasFilsafat Barat,terj. SoejonoSoemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992
Bertens, K. PengantarFilsafat, Manado, kanisius (anggota IKAPI), 1975.
Poedjawijatna, PembimbingkeArahAlamFilsafat, Jakarta : PT RinekaCipta, 1997.
Praja, S. Juhaya, S.Aliran-aliranfilsafat&Etika, Jakarta, Kencana, 2008.









[1]Ali Maksum, et.al.,ParadigmaPendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari “VisiBaru” atas “RealitasBaru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004, hlm. 77
[2]Juhaya, S. Praja, Aliran-aliranfilsafat&Etika, Jakarta, Kencana, 2008. hlm. 133.
[3]AsmoroAkhmadi, FilsafatUmum, Jakarta: RajaGrafindoPersada, Cet. IV, 2001, hlm.116.
[4]Ibid,. hlm.117
[5]KoentoWibisono, ArtiPerkembanganmenurutPositivisme Comte, Yogyakarta: GadjahMada University Press, Cet. II, 1996, hlm. 7
[6]Ali Maksum, et.al., Op. Cit. hlm. 80
[7]Bernard Deltgauw, SejarahRingkasFilsafat Barat,terj. SoejonoSoemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hlm. 67

[8] Juhaya, S. Praja, loc.cit, hlm. 136.

[9] K. Bertens, PengantarFilsafat, Manado, kanisius (anggota IKAPI), 1975. hlm.73
[10]Poedjawitanto, PembimbingKearahFilsafat, Jakarta : RinekaCipta, 1990, hal.121
[11]Ibid,.hal.122
[12]K. Bertens, op.cit, hlm.74.
[13]Poedjawitatno, op.cit,hlm.123.