PENDIDIKAN SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM
AL-QUR’AN DAN HADITS
Makalah ini untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Tafsir dan Hadits Tarbawi”
Dosen Pembimbing :
Dr.
Djoko Hartono, M.Ag
Oleh kelompok :
Ririn Choirun Nisa’ (D71212142)
Widya Rahma (D31212116)
Kusnul Chotima ( D31212108 )
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SURABAYA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini membuat manusia menjadi
penguasa tunggal jagad raya ini. Beberapa pertanyaan yan dilontarkan oleh Howar
Van Till perlu kita cermati,” Why should the univers work well enough to make
the processes of evolution possible? We have no scientific answer. Science is
silent here.....how did the univers come to the abilities for organizing atoms
into elephants? Science craft clever theories about how things get formed, but
why is the stuff of the universe able to arrange itself into these form?”.
Suatu pertanyaan yang menarik untuk direnungkan secara seksama. Bagi umat islam
untuk menjawab persoalan ini ada suatu pegangan ,yaitu Al-Qur’an, Hadis dan
kemampuan rasio, yang tidak lari dari akidah bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang
memuat petunjuk bagi umat manusia dan yang melahirkan islam yang rahmatan
lil alamin.
Sesungguhnya Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi SAW yang
shahih banyak sekali memuat berita tentang sains dan teknologi yang pembenarannya
baru dicapai oleh manusia setelah berpuluh abad lamanya. Berita-berita tentang
sains dan teknologi yang ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits disebutkan secara
implisit, yaitu tersirat dalam berbagai penjelasan tentang aqidah dan keimanan.
Yang demikian sebagai penjelasan bahwa Al-Qur’an dan Hadits berikut isi dan ajarannya
akan selalu selaras dengan perkembangan zaman. Juga karena Al-Qur’an dan
Al-Hadits akan selalu selaras dengan akal dan IPTEK, tidak akan ada pertentangan
antara keduanya selamanya.
Bagi umat islam kesadaran untuk memiliki dan bertakwa dan
pentingnya sains dan teknologi itu berkaitan erat dengan keyakinan terhadap
al-qur’an yang diwahyukan serta pemahaman mengenai kehidupan dan alam semesta
yang diciptakan. Iman dan takwa terkandung ketentuan-ketentuan Allah yang
bersifat absolut, yang disebut kebenaran Qur’ani dan yang lain disebut
kebenaran Kauni. Kebenaran Qur’aniyah dan kauniyah itu hanya dapat didekati
manusia melalui proses aproksimasi yang dilakukan terus-menerus dengan menggunakan
model yang patut diteladani, yaitu sunah Rosulullah. Karena itu upaya manusia
bersifat relatif, terutama melalui proses pendidikan. Kebenaran kauniyah bisa
dikembangkan melalui riset dan data empiris dan pendalaman materi ilmiah serta
pendalaman kandunagn Al-Qur’an yang senantiasa berdampingan dan saling
memperjelas.
Pada hakikatnya perkembangan sains dan teknologi tidak bertentangn
dengan agama islam karena islam adalah agama rasional yang lebih menonjolkan
akal dan dapat diamalkan tanpa mengubah budaya setempat. Dunia tanpa batas
(world bourderless) saat ini mengisyaratkan umat islam harus peka dan tanggap
terhadap isu-isu aktual dan faktual yang berlangsung hari ini. [1]
B.
Rumusan masalah
1.
Apakah
pendidikan sains dan teknologi dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadis?
2.
Bagaimanakah
pendidikan sains dan teknologi yang relevan dalam Al-Qur’an dan Hadis?
3.
Mengapa
pendidikan sains dan teknologi harus didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui
dan memahami pendidikan sains dan teknologi yang dibahas dalam Al-Qur’an dan
Hadis.
2.
Mengetahui
dan memahami pendidikan sains dan teknologi yang relevan dalam Al-Qur’an dan
Hadis.
3.
Mengetahui
dan memahami sains dan teknologi yang harus didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sains dan Teknologi yang dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadis
Pengertian
Sains (science) menurut Agus S. diambil dari kata latin scientia yang
arti harfiahnya adalah pengetahuan. Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa Sains
merupakan kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan
bahwa Sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan
mempergunakan pengetahuan itu. Sains merupakan produk dan proses yang tidak
dapat dipisahkan. "Real Science is both product and process, inseparably
Joint".
Sains
sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk
melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala
alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis,
merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan.
Sedangkan
menurut kamus bahasa seperti yang dikutip oleh Abdurrahman R Effendi dan Gina
Puspita sains adalah ilmu pengetahuan yang teratur
(sistematik) yang boleh diuji atau dibuktikan kebenarannya. Ia juga merupakan
cabang ilmu pengetahuan yang berdasarkan kebenaran atau kenyataan semata-mata,
misalnya sains fisika, kimia, biologi, astronomi, termasuklah cabang-cabang
yang lebih detil lagi seperti hematologi (ilmu tentang darah), entomologi,
zoologi, botani, cardiologi, metereologi (ilmu tentang kajian cuaca), geologi,
geofisika, exobiologi (ilmu tetang kehidupan di angkasa luar), hidrologi (ilmu
tentang aliran air), aerodinamika (ilmu tentang aliran udara) dan lain-lain.
Sedangkan
teknologi adalah aktivitas atau kajian yang menggunakan pengetahuan sains untuk
tujuan praktis dalam industri, pertanian, perobatan, perdagangan dan lain-lain.
Ia juga dapat didefinisikan sebagai kaedah atau proses menangani suatu masalah
teknis yang berasaskan kajian saintifik termaju seperti menggunakan peralatan
elektronik, proses kimia, manufaktur, permesinan yang canggih dan lain-lain.
Sains dan
teknologi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena saling mendukung
satu sama lain. Teknologi merupakan bagian dari sains yang berkembang secara
mandiri, menciptakan dunia tersendiri. Akan tetapi teknologi tidak mungkin
berkembang tanpa didasari sains yang kokoh. Maka sains dan teknologi menjadi
satu kesatuan tak terpisahkan.
Sedangkan ilmu sains yang tergolong dalam kumpulan ilmu sains terapan
(telah mengalami penyesuaian, antara makna dengan kenyataan) adalah dikaitkan
dengan teori dan dasar untuk menciptakan sesuatu hasil yang dapat memberi
manfaat kepada manusia. Sehingga sains mengkaji
tentang fenomena fisik.[2]
Menelusuri pandangan Al-Quran tentang teknologi, mengundang kita
menengok sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya. Menurut
sebagian ulama, terdapat sekitar 750 ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam
materi dan fenomenanya, dan yang memerintahkan manusia untuk mengetahui dan
memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan berulang-ulang Al-Quran menyatakan
bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah untuk manusia
Seperti yang ada dalam Tafsir
Q.S. Al-Anbiya’ ayat 30:
أَوَلَمْ
يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ كَانَتَا رَتْقًا
فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا
يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian
Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman”.
Menurut Tafsir Ibnu Katsir
Allah swt. berfirman menunjukkan kekuasaan-Nya yang
sempurna dan penciptaan-Nya yang maha luas, “Apakah orang-orang kafir yang
mengingkari ketuhanan-Nya Yang Maha Esa dan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya
tidak melihat dan renungkan penciptaan Tuhan, langit dan bumi tujuh lapis, dan
dipisahkannya langit dan bumi dengan awan, lalu diturunkanlah hujan dari langit
dan ditumbuhkanlah tumbuh-tumbuhan di bumi serta dijadikannya air sebagai
sumber hidup tiap sesuatu yang hidup. Dan dijadikannya bumi gunung-gunung yang
kokoh untuk mencegah agar bumi tidak guncang bersama penghuninya dan di antara
gunung-gunung itu dibukakan jalan-jalan yang luas yang menghubungkan satu
negeri dengan negeri lain dan sebuah kota dengan kota lain. langit dijadikannya
sebagai atap yang terpelihara dan tidak dapat di jangkau bagi bumi, kemudian
dibaginyalah waktu menjadi malam yang gelap dan siang yang terang dengan
matahari dan bulan yang masin-masing beredar di dalam garis-garis edarnya
sendiri. [3]
B. Pendidikan Sains dan Teknologi yang Relevan dengan
Al-Qur’an dan Hadis
Sains memang merupakan
hal yang sangat penting, apalagi di zaman modern ini, yang sangat menjunjung
tinggi nilai rasionalitas (terutama negara Barat), sehingga segala sesuatu
harus disesuaikan dengan logika. Tapi, kita sebagai kaum Muslimin harus selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam, meskipun pada kenyataannya kita juga
harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Sebenarnya, bila kita amati, antara ajaran Islam dengan pendidikan sains
tidak ada pertentangan, bahkan Islam mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu.
Salah satu dasar (dalil) yang populer adalah hadits Rasulullah SAW.
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله تــَعَالَى عَلَيــْهِ وَسَلـَّمَ:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيــْضَةٌ عَلَى كُلِّ
مُســـلِمٍ وَ مُسْـــلِمَةٍ
Artinya :
Rasulullah SAW. bersabda : “Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap orang Islam
laki-laki dan perempuan.”[4]
Dalam
hadits tersebut memang jelas disebutkan bahwa hukum mencari ilmu adalah fardhu
ain (harus dilakukan per individu). Tapi, banyak pendapat yang muncul dalam
menentukan ilmu mana yang dimaksud dalam hadits tersebut. Para ahli ilmu kalam
memandang bahwa belajar teologi merupakan sebuah kewajiban, sementara para
fuqaha’ berpikir bahwa ilmu fiqih dicantumkan dalam al-Qur’an. Sedangkan
menurut Imam Ghazali, ilmu yang wajib dicari menurut agama adalah terbatas pada
pelaksanaan kewajiban syari’at Islam yang harus diketahui dengan pasti.
Misalnya, seseorang yang bekerja sebagai peternak binatang, haruslah mengetahui
hukum-hukum tentag zakat.[5]
Sedangkan dalam sumber
lain, penulis menemukan pendapat Shadr al-Din Syirazi. Menurutnya ada beberapa
poin yang dapat diambil dari hadits tersebut:
1. Kata “ilm” (pengetahuan
atau sains), memiliki beberapa makna yang bervariasi. Kata “ilm” dalam hadits
ini bermaksud untuk menetapkan bahwa pada tingkat ilmu apapun seseorang harus
berjuang untuk mengembangkan lebih jauh. Nabi bermaksud bahwa mencari ilmu itu
wajib bagi setiap Muslim, baik itu para ilmuwan maupun orang-orang yang bodoh,
para pemula mupun para sarjana terdidik. Apapun tingkat ilmu yang dapat
dicapainya, ia seperti anak kecil yang beranjak dewasa, sehingga ia harus
mempelajari hal-hal yang sebelumnya tak wajib baginya.
2. Hadits ini menyiratkan arti bahwa
seorang Muslim tidak akan pernah keluar dari tanggung jawabnya untuk mencari
ilmu.
3. Tidak ada lapangan pengetahuan atau sains yang
tercela atau jelek dirinya sendiri, karena ilmu laksana cahaya, dengan demikian
selalu dibutuhkan. Alasan mengapa beberapa ilmu dianggap tercela adalah karena
akibat-akibat tercela yang dihasilkannya.
Dari pendapat-pendapat diatas, dapat kita lihat bahwa ajaran Islam juga
mencakup tentang pendidikan sains yang notabennya adalah ilmu yang berguna bagi
kehidupan (dunia) manusia.
Tapi, disini, ilmu (sains) yang dipelajari haruslah bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, menyejahterakan umat, mensyiarkan ajaran-ajaran
agama Islam. Tidak dibenarkan, apabila ada orang Islam yang menuntut ilmu
pengetahuan hanya untuk mengejar pangkat, mencari gelar, dan keuntungan
pribadi. Selain itu, ilmu yang telah didapat harus disebarkan (diajarkan kepada
orang lain) dan diamalkan (tingkah lakunya sesuai dengan ilmunya).[6]
Bila seseorang dapat melakukan ketiga hal tersebut, maka derajat orang
tersebut diangkat oleh Allah dan disamakan dengan orang-orang yang berjuang di
medan perang (berjihad di jalan Allah). Tentu kita sebagai hambaNya
menginginkan hal tersebut.
Memang benar peribahasa “........... bersusah-susah dahulu,
bersenang-senang kemudian”, untuk menggapai sesuatu yang diinginkan dan
diimpi-impikan tentu tidak mudah, sehingga untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
(sains) yang dapat mensejahterakan kehidupan dunia sekaligus mendapatkan
derajat yang tinggi di Mata Allah, seseorang harus berperang dengan hawa
nafsunya yang selalu mementingkan kehidupan duniawi. Kebanyakan ilmuwan, bahkan
ilmuwan Muslin lupa akan tujuan ukhrowinya, mereka lebih senang menganggap
bahwa sains merupakan sarana mencari penghidupan, bukan sarana mendekatkan diri
kepada Sang Maha Kuasa. Konsep sains seperti itu lebih mirip dengan konsep
sains Barat, yang tentunya salah.
Sehingga sebagai umat Muslim, kita membutuhkan sains yang disusun dari
kandungan Islam yang memiliki proses dan metodologi yang mempu bekerjasama
dengan semangat nilai-nilai Islami dan yang dilaksanakan semata-mata untuk
mendapatkan keridhaan dari Allah. Sains semacam ini akan mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat Muslim dan bekerjasama dalam konteks etika Islam. Sifat
dasar dan jenis sains ini harus jauh berbeda dari sains Barat.[7]
Tapi, untuk mendapatkan bentuk sains yang seperti ini, hampir tidak
mungkin, bila dilihat dari kesadaran dan pemahaman kaum Muslimin sekarang. Bila
dilihat, mereka lebih banyak meniru dan menganut pendapat-pendapat ilmuwan
Barat, yang sudah jelas-jelas salah. Ini sangat ironis, karena Islam yang dulu
pernah menguasai ilmu pengetahuan dunia, kini malah meniru dan berkiblat kepada
sains Barat, tanpa berusaha mencari kebenaran sains yang hakiki.
Dalam memecahkan masalah ini, perlu memaparkan bahwa Islam adalah sebuah
sistem agama, kebudayaan, dan peradaban secara menyeluruh. Ia merupakan sistem holistik
dan nilai-nilainya menyerap setiap aktivitas manusia, yang tentunya sains
termasuk di dalamnya. Dan bila diulas kembali makna sains sebagai metode yang
rasional dan empiris untuk mempelajari fenomena alam, maka menggali ilmu sains
dalam Islam adalah satu-satunya cara untuk mencapai pemahaman yang lebih
mendalam tentang Sang Pencipta, dan menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat
Islam. Ia sendiri tidak akan berakhir. Oleh karena itu, sains tidak dipelajari
untuk sains itu sendiri, akan tetapi untuk mendapatkan Ridha Allah SWT. dengan
mencoba memahami ayat-ayatNya.[8]
Dalam dunia sains, konsep sains seperti ini sering disebut sebagai konsep
sains Islam, yang notabennya adalah ilmu sains yang dalam mempelajarinya tidak
akan pernah bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam. Karena sains itu
sendiri dijadikan sarana untuk beribadah kepadaNya, Sang Maha Pemilik Ilmu.
Penerapan sains Islam akan menciptakan suasana yang menggugah ingatan kita
kepada Allah, mendorong perilaku yang sesuai dengan ketentuan syariat, dan
mengingatkan nilai-nilai konseptual yang ada dalam al-Qur’an.[9]
Dalam bidang pendidikan (khususnya Pendidikan Agama Islam), bentuk sains
seperti ini sangat diperlukan untuk mewujudkan kaum pelajar yang benar-benar
memahami konsep sains Islam, sehingga mereka tidak memiliki keraguan dan
ketakutan dalam mempelajari sains. Selain itu, untuk menghindarkan mereka dari
perbuatan yang dilarang oleh agama, yang biasanya disebabkan oleh minimnya
pemahaman mereka. Jadi, secara jelas konsep sains Islam akan menghasilkan
kesempurnaan pemahaman sains, dan mendatangkan kenikmatan kehidupan duniawi dan
ukhrowi, yang tentunya diidam-idamkan oleh semua orang yang beriman. Selain
itu, buah manis dari konsep sains Islam adalah akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan
Islam, yang nantinya akan membangkitkan semangat kaum Muslimin dalam bidang
ilmu pengetahuan. Hal inilah akan menjadi jawaban dari pertanyaan, “Mengapa
orang Islam makin banyak, tapi kualitas mereka jauh menurun dibanding dengan
orang-orang Islam dahulu?”.
C. Dasar Pendidikan Sains dan Teknologi yang ada dalam
Al-Qur’an dan Hadis
Umat
Islam mulai mempelajari atau melakukan penafsiran ilmiah sejak generasi pertama
sampai abad ke-lima hijriyah hingga menjadikan diri mereka sebagai pelopor Ilmu
pengetahuan di seluruh penjuru dunia, umat Islam telah menjadi pelopor dalam
research tentang alam, sekaligus sebagai masyarakat pertama dalam sejarah ilmu
pengetahuan yang melakukan experimental science atau ilmu thabi’i berdasarkan
percobaan yang kemudian berkembang menjadi applied science atau technology.
Islam
mendorong ummatnya untuk selalu berupaya mengembangkan sains seperti tercantum
dalam QS Al-'Alaq: 1-5 :
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun.
Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran
menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam
arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun
diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra'
mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Kebangkitan dalam bidang ilmu pengetahuan dikalangan uamt islam baru muncul
kembali di abad modern (1800 sampai dengan sekarang). Sejalan dengan itu umat
islam mulai mengkaji secara seksama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang ada
hubungannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Berkaitan dengan
ini, perselisihan pendapat para ulama sidah lama berlangsung. Dalam kitabnya
jawahir Al-Qur’an, Imam Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh
cabang ilmu pngetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui
maupun yang belum, semuanya bersumber dari Al-Qur’an al-Karim. Al-Imam
Al-Syathibi tidak sependapat dengan Al-Ghazali. Dalam kitabnya, al-muwafaqat,
ia antara lain berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui Al-Qur’an
dan apa-apa yang tercantum didalamnya, tetapi tidak seorang pun diantara mereka
yang menyatakan bahwa Al-Qur’an mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.
Berkenaan dengan pendapat tersebut, H.M. Quraish Shihab mengatakan:
“menurut hemat kami, membahas hubungan Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan
dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul
didalamnya, dan bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teor-teori ilmiah.
Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih sesuai dengan kemurnian
dan kesucian al-Qur’an dan sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan, bahwa membahas hubungan ilmu
pengetahuan denagn melihat, mislanya adakah teori realivitas atau bahasan
tentang angkasa luar, ilmu komputer tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi yang
lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu
pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Qur’an yang bertentangan
dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain, meletakkannya
pada sisi “social psychology”(psikologi sosial) bukan pada sisi “history
of scientific progres” (perkembangan ilmu pngetahuan ). [10]
BAB III
ANALISIS KRITIS MATERI
Dari penjelasan diatas
mengenai sains dan teknologi yang tercover dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya’: 30
yang telah ditafsirkan oleh Ibnu Katsir ada sedikit perbedaan dengan penafsiran
dari Al-Maraghi yaitu mengenai penjelasan astronomi jika menurut Ibnu Katsir
penjelasannya lebih sedikit dan masih bersifat umum sedangkan menurut
Al-Maraghi :
Allah menyebutkan enam dalil yang menetapkan adanya
adanya penciptaan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Sekiranya dalil-dalil itu
dipikirkan orang-orang yang bijaksana dan oleh orang-orang yang ingkar, niscaya
mereka tidak akan mendapat alasan untuk mengingkarinya :
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ
كَانَتَا رَتْقًا
“Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa dahulu
langit dan bumi itu saling berhubungan, kemudian Kami memisahkan keduanya dan
menghilangkan kesatuannya”.
Ahli astronomi dewasa ini juga mengatakan hal yang
sama. Mereka menetapkan bahwa matahari adalah bola api yang berotasi selama
jutaan tahun. Di tengah-tengah perjalanannya yang cepat, planet kita (bumi) dan
planet-planet lain dari garis khatulistiwa matahari terpisah daripadanya dan
menjauh. Hingga kini bumi tetap ber-rotasi dan ber-revolusi menurut sistem
tertentu, sesuai dengan hukum daya-tarik.
Prof. Abdul Hamid, wakil peneropong bintang Kerajaan
Mesir, mengatakan: teori modern mengenai lahirnya bumi dan planet-planet
(bintang-bintang beredar) lainnya dari matahari, bermula dari dekatnya sebuah
bintang besar kepada matahari, pada masa yang silam. Lalu, dari permukaannya
tertarik timbunan kabut yang tidak lama kemudian terpisah dari matahari dalam
bentuk anak panah yang kedua tepinya berhias dan tengahnya dalam. Kemudian,
timbunan kabut ini menebal di angkasa yang dingin hingga menjadi
timbunan-timbunan terpisah, yang kemudian menjadi bumi kita dan
“saudara-saudaranya”, yaitu planet-planet yang terus-menerus ber-revolusi
akibat daya-tarik matahari. Cahaya planet-planet itu padam, karena timbunan
kabut relatif sangat kecil untuk dapat mempertahankan sifat asalnya yang
dimilki sebelum bercerai dengan matahari, yaitu pemancaran cahaya. Tidak diragukan lagi, teori ini yang belum
diketahui oleh bangsa Arab dahulu dan bangsa-bangsa semasanya, dan baru
diketahui setelah abad ke-17 Masehi serta setelah benar-benar diselidiki pada
masa sekarang sungguh membuktikan kebenaran Muhammad saw. dan bahwa Al-Qur’an
adalah wahyu Tuhan yang dikirim kepadanya untuk menjadi rahmat bagi alam
semesta.
Kesimpulannya, sesungguhnya Akal manusia mempunyai
kesiapan untuk mengkaji berbagai keajaiban alam dan untuk mengetahui perjalanan
serta peredaran bintang-bintang dengan hukum gaya-tarik di sekitar matahari
berdasarkan sunnah-sunnah yang tidak pernah berubah dan tidak pernah berganti.
Penelitian telah menunjukkan bahwa pada mulanya seluruh bintang itu adalah satu
keluarga. Kemudian, sebagiannya terpisah dari bagian yang lain karena
sebab-sebab tertentu yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Tahu.[11]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mustafa
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Semarang: Toha Putra, 1989.
Al-Imam
al-Syaikh Ibrahim bin Ismail, Ta’lim al-Muta’allim, Semarang: Pustaka
al-Alawiyah, 2003.
Bahreisy,
Salim, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jilid 5, Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1990.
Butt,
Nasim, Sains dan Masyarakat Islam (Diterjemahkan oleh Masdar Hilmy dari Buku
Science and Muslim Society), Bandung : Pustaka Hidayah, 2001.
Ghulsyani,
Mahdi, Filsafat-Sains Menurut Al-Qur’an (Diterjemahkan oleh Agus Efendi dari
Buku The Holy Quran and the Science of Nature), Bandung: Penerbit Mizan,
2001.
Jumin, Hasan Basri, Sains dan Teknologi dalam Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Lilis
Fauziyah R.A. dan Andi Setyawan, Kebenaran al-Qur’an dan Hadits, Solo: Tiga Serangkai, 2009.
Nata, Abudin, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat
Al-Tarbawy), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Noordin,
Sulaiman, Sains Menurut Perspektif Islam (Diterjemahkan oleh Munfaati),
Jakarta: Dwi Rama, 2000.
Subandy
dan Hany Hanita Humanisa, Science and Technology Some Cases in Islamic
Perspective, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.
[1]
Hasan Basri
Jumin, Sains dan Teknologi dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2012), 9-11.
[2] Sulaiman Noordin, Sains
Menurut Perspektif Islam (Diterjemahkan oleh Munfaati), ( Jakarta: Dwi
Rama, 2000), 149-150.
[3] Salim Bahreisy, Terjemahan
Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jilid 5 (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990),
305-306.
[4]
Al-Imam al-Syaikh Ibrahim bin Ismail, Ta’lim al-Muta’allim, (Semarang: Pustaka
al-Alawiyah, 2003), 4.
[5]
Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains Menurut Al-Qur’an (Diterjemahkan oleh Agus
Efendi dari Buku The Holy Quran and the Science of Nature), (Bandung: Penerbit
Mizan, 2001), 40.
[6]
Lilis Fauziyah R.A. dan Andi Setyawan, Kebenaran al-Qur’an dan Hadits
(Solo: Tiga Serangkai, 2009), 114.
[7] Nasim Butt, Sains dan
Masyarakat Islam (Diterjemahkan oleh Masdar Hilmy dari Buku Science and Muslim
Society), ( Bandung : Pustaka Hidayah, 2001), 63-64.
[8] Ibid., 69-70.
[9] Ibid., 92.
[10] Abudin Nata, Tafsir
Ayat-Ayat Pendidikan(Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawy),(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2002), 161-163.
[11] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi
(Semarang: Toha Putra, 1989), 38-41.