Selasa, 22 Juli 2014

PENDIDIKAN SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS


PENDIDIKAN SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS






Makalah ini untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Tafsir dan Hadits Tarbawi”

Dosen Pembimbing :
Dr. Djoko Hartono, M.Ag

Oleh kelompok :
Ririn Choirun Nisa’ (D71212142)
Widya Rahma           (D31212116)
Kusnul Chotima        ( D31212108 )

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SURABAYA
2014







BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang                                                                          
Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini membuat manusia menjadi penguasa tunggal jagad raya ini. Beberapa pertanyaan yan dilontarkan oleh Howar Van Till perlu kita cermati,” Why should the univers work well enough to make the processes of evolution possible? We have no scientific answer. Science is silent here.....how did the univers come to the abilities for organizing atoms into elephants? Science craft clever theories about how things get formed, but why is the stuff of the universe able to arrange itself into these form?”. Suatu pertanyaan yang menarik untuk direnungkan secara seksama. Bagi umat islam untuk menjawab persoalan ini ada suatu pegangan ,yaitu Al-Qur’an, Hadis dan kemampuan rasio, yang tidak lari dari akidah bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang memuat petunjuk bagi umat manusia dan yang melahirkan islam yang rahmatan lil alamin.  
Sesungguhnya Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi SAW yang shahih banyak sekali memuat berita tentang sains dan teknologi yang pembenarannya baru dicapai oleh manusia setelah berpuluh abad lamanya. Berita-berita tentang sains dan teknologi yang ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits disebutkan secara implisit, yaitu tersirat dalam berbagai penjelasan tentang aqidah dan keimanan. Yang demikian sebagai penjelasan bahwa Al-Qur’an dan Hadits berikut isi dan ajarannya akan selalu selaras dengan perkembangan zaman. Juga karena Al-Qur’an dan Al-Hadits akan selalu selaras dengan akal dan IPTEK, tidak akan ada pertentangan antara keduanya selamanya.
Bagi umat islam kesadaran untuk memiliki dan bertakwa dan pentingnya sains dan teknologi itu berkaitan erat dengan keyakinan terhadap al-qur’an yang diwahyukan serta pemahaman mengenai kehidupan dan alam semesta yang diciptakan. Iman dan takwa terkandung ketentuan-ketentuan Allah yang bersifat absolut, yang disebut kebenaran Qur’ani dan yang lain disebut kebenaran Kauni. Kebenaran Qur’aniyah dan kauniyah itu hanya dapat didekati manusia melalui proses aproksimasi yang dilakukan terus-menerus dengan menggunakan model yang patut diteladani, yaitu sunah Rosulullah. Karena itu upaya manusia bersifat relatif, terutama melalui proses pendidikan. Kebenaran kauniyah bisa dikembangkan melalui riset dan data empiris dan pendalaman materi ilmiah serta pendalaman kandunagn Al-Qur’an yang senantiasa berdampingan dan saling memperjelas.
Pada hakikatnya perkembangan sains dan teknologi tidak bertentangn dengan agama islam karena islam adalah agama rasional yang lebih menonjolkan akal dan dapat diamalkan tanpa mengubah budaya setempat. Dunia tanpa batas (world bourderless) saat ini mengisyaratkan umat islam harus peka dan tanggap terhadap isu-isu aktual dan faktual yang berlangsung hari ini. [1]
B.  Rumusan masalah
1.      Apakah pendidikan sains dan teknologi dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadis?
2.      Bagaimanakah pendidikan sains dan teknologi yang relevan dalam Al-Qur’an dan Hadis?
3.      Mengapa pendidikan sains dan teknologi harus didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis?
C.  Tujuan Masalah
1.      Mengetahui dan memahami pendidikan sains dan teknologi yang dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadis.
2.      Mengetahui dan memahami pendidikan sains dan teknologi yang relevan dalam Al-Qur’an dan Hadis.
3.      Mengetahui dan memahami sains dan teknologi yang harus didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sains dan Teknologi yang dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadis
Pengertian Sains (science) menurut Agus S. diambil dari kata latin scientia yang arti harfiahnya adalah pengetahuan. Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan bahwa Sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu. Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan. "Real Science is both product and process, inseparably Joint".
Sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan.
Sedangkan menurut kamus bahasa seperti yang dikutip oleh Abdurrahman R Effendi dan Gina Puspita sains adalah ilmu pengetahuan yang teratur (sistematik) yang boleh diuji atau dibuktikan kebenarannya. Ia juga merupakan cabang ilmu pengetahuan yang berdasarkan kebenaran atau kenyataan semata-mata, misalnya sains fisika, kimia, biologi, astronomi, termasuklah cabang-cabang yang lebih detil lagi seperti hematologi (ilmu tentang darah), entomologi, zoologi, botani, cardiologi, metereologi (ilmu tentang kajian cuaca), geologi, geofisika, exobiologi (ilmu tetang kehidupan di angkasa luar), hidrologi (ilmu tentang aliran air), aerodinamika (ilmu tentang aliran udara) dan lain-lain.
Sedangkan teknologi adalah aktivitas atau kajian yang menggunakan pengetahuan sains untuk tujuan praktis dalam industri, pertanian, perobatan, perdagangan dan lain-lain. Ia juga dapat didefinisikan sebagai kaedah atau proses menangani suatu masalah teknis yang berasaskan kajian saintifik termaju seperti menggunakan peralatan elektronik, proses kimia, manufaktur, permesinan yang canggih dan lain-lain.
Sains dan teknologi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena saling mendukung satu sama lain. Teknologi merupakan bagian dari sains yang berkembang secara mandiri, menciptakan dunia tersendiri. Akan tetapi teknologi tidak mungkin berkembang tanpa didasari sains yang kokoh. Maka sains dan teknologi menjadi satu kesatuan tak terpisahkan.
Sedangkan ilmu sains yang tergolong dalam kumpulan ilmu sains terapan (telah mengalami penyesuaian, antara makna dengan kenyataan) adalah dikaitkan dengan teori dan dasar untuk menciptakan sesuatu hasil yang dapat memberi manfaat kepada manusia. Sehingga sains mengkaji tentang fenomena fisik.[2]
Menelusuri pandangan Al-Quran tentang teknologi, mengundang kita menengok sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 750 ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya, dan yang memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan berulang-ulang Al-Quran menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah untuk manusia
Seperti yang ada dalam Tafsir Q.S. Al-Anbiya’ ayat 30:
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman”.

Menurut Tafsir Ibnu Katsir
Allah swt. berfirman menunjukkan kekuasaan-Nya yang sempurna dan penciptaan-Nya yang maha luas, “Apakah orang-orang kafir yang mengingkari ketuhanan-Nya Yang Maha Esa dan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya tidak melihat dan renungkan penciptaan Tuhan, langit dan bumi tujuh lapis, dan dipisahkannya langit dan bumi dengan awan, lalu diturunkanlah hujan dari langit dan ditumbuhkanlah tumbuh-tumbuhan di bumi serta dijadikannya air sebagai sumber hidup tiap sesuatu yang hidup. Dan dijadikannya bumi gunung-gunung yang kokoh untuk mencegah agar bumi tidak guncang bersama penghuninya dan di antara gunung-gunung itu dibukakan jalan-jalan yang luas yang menghubungkan satu negeri dengan negeri lain dan sebuah kota dengan kota lain. langit dijadikannya sebagai atap yang terpelihara dan tidak dapat di jangkau bagi bumi, kemudian dibaginyalah waktu menjadi malam yang gelap dan siang yang terang dengan matahari dan bulan yang masin-masing beredar di dalam garis-garis edarnya sendiri. [3]
B.  Pendidikan Sains dan Teknologi yang Relevan dengan Al-Qur’an dan Hadis
Sains memang merupakan hal yang sangat penting, apalagi di zaman modern ini, yang sangat menjunjung tinggi nilai rasionalitas (terutama negara Barat), sehingga segala sesuatu harus disesuaikan dengan logika. Tapi, kita sebagai kaum Muslimin harus selalu menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam, meskipun pada kenyataannya kita juga harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Sebenarnya, bila kita amati, antara ajaran Islam dengan pendidikan sains tidak ada pertentangan, bahkan Islam mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu. Salah satu dasar (dalil) yang populer adalah hadits Rasulullah SAW.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله تــَعَالَى عَلَيــْهِ وَسَلـَّمَ:  طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيــْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُســـلِمٍ وَ مُسْـــلِمَةٍ
                             Artinya            : Rasulullah SAW. bersabda : “Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap orang Islam laki-laki dan perempuan.”[4]
                            Dalam hadits tersebut memang jelas disebutkan bahwa hukum mencari ilmu adalah fardhu ain (harus dilakukan per individu). Tapi, banyak pendapat yang muncul dalam menentukan ilmu mana yang dimaksud dalam hadits tersebut. Para ahli ilmu kalam memandang bahwa belajar teologi merupakan sebuah kewajiban, sementara para fuqaha’ berpikir bahwa ilmu fiqih dicantumkan dalam al-Qur’an. Sedangkan menurut Imam Ghazali, ilmu yang wajib dicari menurut agama adalah terbatas pada pelaksanaan kewajiban syari’at Islam yang harus diketahui dengan pasti. Misalnya, seseorang yang bekerja sebagai peternak binatang, haruslah mengetahui hukum-hukum tentag zakat.[5]
Sedangkan dalam sumber lain, penulis menemukan pendapat Shadr al-Din Syirazi. Menurutnya ada beberapa poin yang dapat diambil dari hadits tersebut:
1.   Kata “ilm” (pengetahuan atau sains), memiliki beberapa makna yang bervariasi. Kata “ilm” dalam hadits ini bermaksud untuk menetapkan bahwa pada tingkat ilmu apapun seseorang harus berjuang untuk mengembangkan lebih jauh. Nabi bermaksud bahwa mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim, baik itu para ilmuwan maupun orang-orang yang bodoh, para pemula mupun para sarjana terdidik. Apapun tingkat ilmu yang dapat dicapainya, ia seperti anak kecil yang beranjak dewasa, sehingga ia harus mempelajari hal-hal yang sebelumnya tak wajib baginya.
2.   Hadits ini menyiratkan arti bahwa seorang Muslim tidak akan pernah keluar dari tanggung jawabnya untuk mencari ilmu.
3.   Tidak ada lapangan pengetahuan atau sains yang tercela atau jelek dirinya sendiri, karena ilmu laksana cahaya, dengan demikian selalu dibutuhkan. Alasan mengapa beberapa ilmu dianggap tercela adalah karena akibat-akibat tercela yang dihasilkannya.
Dari pendapat-pendapat diatas, dapat kita lihat bahwa ajaran Islam juga mencakup tentang pendidikan sains yang notabennya adalah ilmu yang berguna bagi kehidupan (dunia) manusia.
Tapi, disini, ilmu (sains) yang dipelajari haruslah bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menyejahterakan umat, mensyiarkan ajaran-ajaran agama Islam. Tidak dibenarkan, apabila ada orang Islam yang menuntut ilmu pengetahuan hanya untuk mengejar pangkat, mencari gelar, dan keuntungan pribadi. Selain itu, ilmu yang telah didapat harus disebarkan (diajarkan kepada orang lain) dan diamalkan (tingkah lakunya sesuai dengan ilmunya).[6]
Bila seseorang dapat melakukan ketiga hal tersebut, maka derajat orang tersebut diangkat oleh Allah dan disamakan dengan orang-orang yang berjuang di medan perang (berjihad di jalan Allah). Tentu kita sebagai hambaNya menginginkan hal tersebut.
Memang benar peribahasa “........... bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian”, untuk menggapai sesuatu yang diinginkan dan diimpi-impikan tentu tidak mudah, sehingga untuk mendapatkan ilmu pengetahuan (sains) yang dapat mensejahterakan kehidupan dunia sekaligus mendapatkan derajat yang tinggi di Mata Allah, seseorang harus berperang dengan hawa nafsunya yang selalu mementingkan kehidupan duniawi. Kebanyakan ilmuwan, bahkan ilmuwan Muslin lupa akan tujuan ukhrowinya, mereka lebih senang menganggap bahwa sains merupakan sarana mencari penghidupan, bukan sarana mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Konsep sains seperti itu lebih mirip dengan konsep sains Barat, yang tentunya salah.
Sehingga sebagai umat Muslim, kita membutuhkan sains yang disusun dari kandungan Islam yang memiliki proses dan metodologi yang mempu bekerjasama dengan semangat nilai-nilai Islami dan yang dilaksanakan semata-mata untuk mendapatkan keridhaan dari Allah. Sains semacam ini akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim dan bekerjasama dalam konteks etika Islam. Sifat dasar dan jenis sains ini harus jauh berbeda dari sains Barat.[7]
Tapi, untuk mendapatkan bentuk sains yang seperti ini, hampir tidak mungkin, bila dilihat dari kesadaran dan pemahaman kaum Muslimin sekarang. Bila dilihat, mereka lebih banyak meniru dan menganut pendapat-pendapat ilmuwan Barat, yang sudah jelas-jelas salah. Ini sangat ironis, karena Islam yang dulu pernah menguasai ilmu pengetahuan dunia, kini malah meniru dan berkiblat kepada sains Barat, tanpa berusaha mencari kebenaran sains yang hakiki.
Dalam memecahkan masalah ini, perlu memaparkan bahwa Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayaan, dan peradaban secara menyeluruh. Ia merupakan sistem holistik dan nilai-nilainya menyerap setiap aktivitas manusia, yang tentunya sains termasuk di dalamnya. Dan bila diulas kembali makna sains sebagai metode yang rasional dan empiris untuk mempelajari fenomena alam, maka menggali ilmu sains dalam Islam adalah satu-satunya cara untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang Sang Pencipta, dan menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat Islam. Ia sendiri tidak akan berakhir. Oleh karena itu, sains tidak dipelajari untuk sains itu sendiri, akan tetapi untuk mendapatkan Ridha Allah SWT. dengan mencoba memahami ayat-ayatNya.[8]
Dalam dunia sains, konsep sains seperti ini sering disebut sebagai konsep sains Islam, yang notabennya adalah ilmu sains yang dalam mempelajarinya tidak akan pernah bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam. Karena sains itu sendiri dijadikan sarana untuk beribadah kepadaNya, Sang Maha Pemilik Ilmu.
Penerapan sains Islam akan menciptakan suasana yang menggugah ingatan kita kepada Allah, mendorong perilaku yang sesuai dengan ketentuan syariat, dan mengingatkan nilai-nilai konseptual yang ada dalam al-Qur’an.[9]
Dalam bidang pendidikan (khususnya Pendidikan Agama Islam), bentuk sains seperti ini sangat diperlukan untuk mewujudkan kaum pelajar yang benar-benar memahami konsep sains Islam, sehingga mereka tidak memiliki keraguan dan ketakutan dalam mempelajari sains. Selain itu, untuk menghindarkan mereka dari perbuatan yang dilarang oleh agama, yang biasanya disebabkan oleh minimnya pemahaman mereka. Jadi, secara jelas konsep sains Islam akan menghasilkan kesempurnaan pemahaman sains, dan mendatangkan kenikmatan kehidupan duniawi dan ukhrowi, yang tentunya diidam-idamkan oleh semua orang yang beriman. Selain itu, buah manis dari konsep sains Islam adalah akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan Islam, yang nantinya akan membangkitkan semangat kaum Muslimin dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal inilah akan menjadi jawaban dari pertanyaan, “Mengapa orang Islam makin banyak, tapi kualitas mereka jauh menurun dibanding dengan orang-orang Islam dahulu?”.

C.  Dasar Pendidikan Sains dan Teknologi yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadis
Umat Islam mulai mempelajari atau melakukan penafsiran ilmiah sejak generasi pertama sampai abad ke-lima hijriyah hingga menjadikan diri mereka sebagai pelopor Ilmu pengetahuan di seluruh penjuru dunia, umat Islam telah menjadi pelopor dalam research tentang alam, sekaligus sebagai masyarakat pertama dalam sejarah ilmu pengetahuan yang melakukan experimental science atau ilmu thabi’i berdasarkan percobaan yang kemudian berkembang menjadi applied science atau technology.
Islam mendorong ummatnya untuk selalu berupaya mengembangkan sains seperti tercantum dalam  QS Al-'Alaq: 1-5 :
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Kebangkitan dalam bidang ilmu pengetahuan dikalangan uamt islam baru muncul kembali di abad modern (1800 sampai dengan sekarang). Sejalan dengan itu umat islam mulai mengkaji secara seksama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang ada hubungannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Berkaitan dengan ini, perselisihan pendapat para ulama sidah lama berlangsung. Dalam kitabnya jawahir Al-Qur’an, Imam Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pngetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semuanya bersumber dari Al-Qur’an al-Karim. Al-Imam Al-Syathibi tidak sependapat dengan Al-Ghazali. Dalam kitabnya, al-muwafaqat, ia antara lain berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui Al-Qur’an dan apa-apa yang tercantum didalamnya, tetapi tidak seorang pun diantara mereka yang menyatakan bahwa Al-Qur’an mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.
Berkenaan dengan pendapat tersebut, H.M. Quraish Shihab mengatakan: “menurut hemat kami, membahas hubungan Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul didalamnya, dan bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teor-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan, bahwa membahas hubungan ilmu pengetahuan denagn melihat, mislanya adakah teori realivitas atau bahasan tentang angkasa luar, ilmu komputer tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi “social psychology”(psikologi sosial) bukan pada sisi “history of scientific progres” (perkembangan ilmu pngetahuan ). [10]


















BAB III
ANALISIS KRITIS MATERI

  Dari penjelasan diatas mengenai sains dan teknologi yang tercover dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya’: 30 yang telah ditafsirkan oleh Ibnu Katsir ada sedikit perbedaan dengan penafsiran dari Al-Maraghi yaitu mengenai penjelasan astronomi jika menurut Ibnu Katsir penjelasannya lebih sedikit dan masih bersifat umum sedangkan menurut Al-Maraghi :
Allah menyebutkan enam dalil yang menetapkan adanya adanya penciptaan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Sekiranya dalil-dalil itu dipikirkan orang-orang yang bijaksana dan oleh orang-orang yang ingkar, niscaya mereka tidak akan mendapat alasan untuk mengingkarinya :
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ كَانَتَا رَتْقًا
“Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa dahulu langit dan bumi itu saling berhubungan, kemudian Kami memisahkan keduanya dan menghilangkan kesatuannya”.
Ahli astronomi dewasa ini juga mengatakan hal yang sama. Mereka menetapkan bahwa matahari adalah bola api yang berotasi selama jutaan tahun. Di tengah-tengah perjalanannya yang cepat, planet kita (bumi) dan planet-planet lain dari garis khatulistiwa matahari terpisah daripadanya dan menjauh. Hingga kini bumi tetap ber-rotasi dan ber-revolusi menurut sistem tertentu, sesuai dengan hukum daya-tarik.
Prof. Abdul Hamid, wakil peneropong bintang Kerajaan Mesir, mengatakan: teori modern mengenai lahirnya bumi dan planet-planet (bintang-bintang beredar) lainnya dari matahari, bermula dari dekatnya sebuah bintang besar kepada matahari, pada masa yang silam. Lalu, dari permukaannya tertarik timbunan kabut yang tidak lama kemudian terpisah dari matahari dalam bentuk anak panah yang kedua tepinya berhias dan tengahnya dalam. Kemudian, timbunan kabut ini menebal di angkasa yang dingin hingga menjadi timbunan-timbunan terpisah, yang kemudian menjadi bumi kita dan “saudara-saudaranya”, yaitu planet-planet yang terus-menerus ber-revolusi akibat daya-tarik matahari. Cahaya planet-planet itu padam, karena timbunan kabut relatif sangat kecil untuk dapat mempertahankan sifat asalnya yang dimilki sebelum bercerai dengan matahari, yaitu pemancaran cahaya.  Tidak diragukan lagi, teori ini yang belum diketahui oleh bangsa Arab dahulu dan bangsa-bangsa semasanya, dan baru diketahui setelah abad ke-17 Masehi serta setelah benar-benar diselidiki pada masa sekarang sungguh membuktikan kebenaran Muhammad saw. dan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang dikirim kepadanya untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.
Kesimpulannya, sesungguhnya Akal manusia mempunyai kesiapan untuk mengkaji berbagai keajaiban alam dan untuk mengetahui perjalanan serta peredaran bintang-bintang dengan hukum gaya-tarik di sekitar matahari berdasarkan sunnah-sunnah yang tidak pernah berubah dan tidak pernah berganti. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada mulanya seluruh bintang itu adalah satu keluarga. Kemudian, sebagiannya terpisah dari bagian yang lain karena sebab-sebab tertentu yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Tahu.[11]




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Semarang: Toha Putra, 1989.
Al-Imam al-Syaikh Ibrahim bin Ismail, Ta’lim al-Muta’allim, Semarang: Pustaka al-Alawiyah, 2003.
Bahreisy, Salim, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jilid 5, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990.
Butt, Nasim, Sains dan Masyarakat Islam (Diterjemahkan oleh Masdar Hilmy dari Buku Science and Muslim Society), Bandung : Pustaka Hidayah, 2001.
Ghulsyani, Mahdi, Filsafat-Sains Menurut Al-Qur’an (Diterjemahkan oleh Agus Efendi dari Buku The Holy Quran and the Science of Nature), Bandung: Penerbit Mizan, 2001.
Jumin, Hasan Basri, Sains dan Teknologi dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Lilis Fauziyah R.A. dan Andi Setyawan, Kebenaran al-Qur’an dan Hadits,  Solo: Tiga Serangkai, 2009.
Nata, Abudin, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawy), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Noordin, Sulaiman, Sains Menurut Perspektif Islam (Diterjemahkan oleh Munfaati), Jakarta: Dwi Rama, 2000.
Subandy dan Hany Hanita Humanisa, Science and Technology Some Cases in Islamic Perspective, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.


[1] Hasan Basri Jumin, Sains dan Teknologi dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012),  9-11.
[2] Sulaiman Noordin, Sains Menurut Perspektif Islam (Diterjemahkan oleh Munfaati), ( Jakarta: Dwi Rama,  2000), 149-150.
[3] Salim Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jilid 5 (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), 305-306.
[4] Al-Imam al-Syaikh Ibrahim bin Ismail, Ta’lim al-Muta’allim, (Semarang: Pustaka al-Alawiyah, 2003), 4.
[5] Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains Menurut Al-Qur’an (Diterjemahkan oleh Agus Efendi dari Buku The Holy Quran and the Science of Nature), (Bandung: Penerbit Mizan, 2001), 40.
[6] Lilis Fauziyah R.A. dan Andi Setyawan, Kebenaran al-Qur’an dan Hadits (Solo: Tiga Serangkai, 2009), 114.

[7] Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam (Diterjemahkan oleh Masdar Hilmy dari Buku Science and Muslim Society), ( Bandung : Pustaka Hidayah, 2001), 63-64.
[8] Ibid., 69-70.
[9] Ibid., 92.
[10] Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan(Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawy),(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), 161-163.
[11] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi (Semarang: Toha Putra, 1989), 38-41.