Selasa, 22 Juli 2014

DESAIN KURIKULUM DAN PENDEKATAN PENGEMBANGAN KURIKULUM


DESAIN KURIKULUM DAN PENDEKATAN PENGEMBANGAN KURIKULUM


Makalah ini untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Pengembangan Kurikulum”

Dosen Pembimbing :
Dr. H. Ach. Muhibbin Zuhri, M.Ag

Oleh :
Widya Rahma           (D31212116)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SURABAYA
2014



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembinaan kurikulum adalah kegiatan yang mengacu pada usaha untuk melaksanakan, mempertahankan, dan menyempurnakan kurikulum yang telah ada, guna memperoleh hasil yang maksimal. Pelaksanaan kurikulum sendiri diwujudkan dalam proses belajar mengajar sesuai dengan prinsip-prinsip dan tuntutan kurikulum yang dikembangkan sebelumnya bagi pendidikan/sekolah tertentu.
Dengan demikian, pembinaan kurikulum di sekolah dilakukan, setelah melalui tahap pengembangan kurikulum, atau setelah terbentuknya kurikulum baru.
Pengembangan kurikulum sebagai tahap lanjutan dari pembinaan, yakni kegiatan yang mengacu untuk menghasilkan suatu kurikulum baru. Dalam kegiatan tersebut meliputi penyususnan-penyusunan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan. Melalui tahap-tahap tersebut akan menghasilkan kurikulum baru. Dan dengan terbentuknya kurikulum baru, maka tugas pengembangan telah selesai.
Pengembangan kurikulum adalah sebuah proses siklus yang tidak pernah ada titik awal dan akhirnya. sebab, pengembangan kurikulum ini merupakan suatu proses yang bertumpu pada unsure-unsur dalam kurikulum, yang didalamnya meliputi tujuan, metode, material, penilaian dan balikan (feed back).
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah peran desain kurikulum dalam perkembangannya ?
2.      Bagaimanakah pendekatan dan model pengembangan kurikulum ?

C.    Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1.    Mengetahui dan memahami peran desain kurikulum dalam perkembangannya.
2.    Mengetahui dan memahami pendekatan dan model pengembangan kurikulum.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Desain Kurikulum
1.      Pengertian Desain Kurikulum
Yang dimaksud desain adalah rancangan, pola, atau model. Mendesain kurikulum berarti menyusun rancangan atau menyusun model kurikulum sesuai dengan misi dan visi sekolah. Tugas dan peran seorang desainer kurikulum, sama seperti seorang arsitek. Sebelum menentukan bahan dan cara mengkontruksi bangunan terlebih dahulu seorang arsitek harus merancang model bangunan yang akan dibangun.[1]
Fred Percival dan Henry Ellington (1984) mengemukakan bahwa desain kurikulum adalah pengembangan proses perencanaan, validasi, implementasi, dan evaluasi kurikulum. Selanjutnya, Saylor mengajukan delapan prinsip sebagai acuan dalam desain kurikulum. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.[2]
1.      Desain kurikulum harus memudahkan dan mendorong seleksi serta pengembangan semua jenis pengalaman belajar yang esensial bagi pencapaian prestasi belajar, sesuai dengan hasil yang diharapkan.
2.      Desain memuat berbagai pengalaman belajar yang bermakna dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan, khususnya bagi kelompok siswa yang belajar dengan bimbingan guru.
3.      Desain harus memungkinkan dan menyediakan peluang bagi guru untuk menggunakan prinsip-prinsip belajar dalam memilih, membimbing, dan mengembangkan berbagai kegiatan belajar di sekolah.
4.      Desain harus memungkinkan guru untuk menyesuaikan pengalaman dengan kebutuhan, kapasitas, dan tingkat kematangan siswa.
5.      Desain harus mendorong guru mempertimbangkan berbagai pengalaman belajar anak yang diperoleh di luar sekolah dan mengaitkannya dengan kegiatan belajar di sekolah.
6.      Desain harus menyediakan pengalaman belajar yang berkesinambungan, agar kegiatan belajar siswa berkembang sejalan dengan pengalaman terdahulu dan terus berlanjut pada pengalaman berikutnya.
7.      Kurikulum harus didesain agar dapat membantu siswa mengembangkan watak, kepribadian, pengalaman, dan nilai-nilai demokrasi yang menjiwai kultur dan,
8.      Desain kurikulum harus realistis, layak, dan dapat diterima.
Jadi, desain kurikulum dapat didefinisikan sebagai rencana atau komponen dari unsur-unsur kurikulum yang tersiri dari tujuan, isi, pengalaman belajar, dan evaluasi. Penyusunan desain kurikulum terbagi menjadi dua dimensi yaitu, dimensi horisontal dan vertikal. Dimensi horisontal berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Susunan lingkup ini sering diintegrasikan dengan proses belajar dan mengajarnya. Sedangkan dimensi vertikal menyangkut penyusunan sekuens, bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran. Bahan tersusun mulai dari yang mudah, kemudian menuju pada yang lebih sulit, atau mulai dengan yang dasar diteruskan dengan yang lanjutan.[3]
B.     Model Desain Kurikulum
Dari uraian di atas kita akan mengkaji beberapa model desain kurikulum berikut ini:



1.      Desain Kurikulum Disiplin Ilmu
Menurut Longstreet (1993) desain kurikulum ini merupakan desain kurikulum yang berpusat kepada pengetahuan (the knowledge centered design) yang dirancang berdasarkan struktur disiplin ilmu, oleh karena itu model desain ini dinamakan juga model kurikulum subjek akademis yang penekanannya diarahkan untuk pengembangan intelektual siswa.[4]
Model kurikulum yang berorientasi pada pengembangan intelektual siswa, dikembangkan oleh para ahli mata pelajaran sesuai ilmu masing-masing. Mereka menyusun materi pembelajaran apa yang harus dikuasai oleh siswa baik menyangkut data dan fakta, konsep maupun teori yang da dalam setiap disiplin ilmu mereka masing-masing.
Dalam implementasinya, strategi yang banyak digunakan adalah strategi ekspositori. Melalui strategi, gagasan atau informasi disampaikan oleh gurusecara langsung kepada siswa. Selanjutnya siswa dituntut untuk memahami, mencari landasan logika, dan dukungan fakta yang dianggap relevan.
Salah satu contoh kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu atau disebut juga kurikulum subjek akademis adalah Man: a Course of Study (MACOS), yang dirancang untuk memperbaiki proses perbaikan pengajaran-pengajaran ilmu-ilmu sosial dan humanistis.
Tujuan utama kurikulum MACOS adalah perkembangan intelektual, yaitu membangkitkan penghargaan dan keyakinan atau kemampuan sendiri dengan memberikan serangkaian cara kerja yang memungkinkan anak mampu menganalisis kehidupan sosial walaupun dengan cara yang sederhana.
Terdapat tiga bentuk organisasi kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu, yaitu: subject centered curruculum, correlated curriculum, dan integrated curriculum.
a.      Subject Centered Curriculum
Pada Subject Centered Curriculum, bahan atau isi kurikulum disusun dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, misalnya: mata pelajaran sejarah, bumi, kimia, fisika, berhitung, dan lain sebagainya. Seorang guru harus bertanggung jawab pada mata pelajaran yang diajarkan atau diberikan kepada siswanya.walaupun mata pelajaran itu diberikan oleh guru yang sama, maka hal ini juga dilaksanakan secara terpisah-pisah. Oleh karena organisasi bahan atau isi kurikulum berpusat pada mata pelajaran secara terpisah-pisah, maka kurikulumini juga dinamakan separated subject curriculum.
b.      Correlated Curriculum
Pada organisasi kurikulum ini, mata pelajaran tidak disajikan secara terpisah, akan tetapi mata pelajaran-mata pelajaran yang memiliki kedekatan atau mata pelajaran sejenis dikelompokkan sehingga menjadi suatu bidang studi (broadfield), seperti misalnya mata pelajaran geografi, sejarah, ekonomi dikelompokkan dalam bidang studi IPS. Demikian pula dengan mata pelajaran, biologi, kimia, fisika, dikelompokkan menjadi bidang studi IPA.[5]
Mengorelasikan bahan atau isi materi kurikulum dapat dilakukan dengn beberapa pendekatan, yaitu:
1.    Pendekatan Struktural
Dalam pendekatan ini, kajian suatu pokok bahasan ditinjau dari beberapa mata pelajaran sejenis. Seperti misalnya, kajian suatu topik tentang geografi tidak semata-mata ditinjau dari sudut geografi saja, akan tetapi juga ditinjau dari sejarah, ekonomi, atau mngkin budaya.
2.    Pendekatan Fungsional
Pendekatan ini berdasarkan kepada pengkajian masalah yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, suatu topik tidak diambil dari mata pelajaran tertentu akan tetapi diambil dari apa yang dirasakan perlu untuk anak, selanjutnya topik itu dikaji oleh berbagai mata pelajaran yang memiliki keterkaitan.
3.      Pendekatan Daerah
Pada pendekatan ini materi pelajaran ditentukan berdasarkan lokasi atau tempat. Seperti mengkaji daerah ibu kota ditinjau dari keadaan iklim, sejarah, sosial budayanya, ekonominya, dan lain sebagainya.
c.       Integrated Curriculum
Pada organisasi kurikulum yang menggunakan model integrated, tidak lagi menampakkan nama-nama mata pelajaran atau bidang studi. Belajar berangkat dari suatu pokok masalah yang harus dipecahkan. Masalah tersebut kemudian dinamakan unit. Belajar melalui pemecahan masalah itu diharapkan perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada segi intelektual saja akan tetapi seluruh aspek seperti sikap, emosi, atau keterampilan.

2.      Desain Kurikulum Berorientasi pada Masyarakat
Asumsi yang mendasari bentuk rancangan kurikulum ini adalah, bahwa tujuan dari sekolah adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat harus dijadikan dasar dalam menentukan isi kurikulum.[6]
Contoh desain kurikulum ini dikembangkan oleh Smith, Stanley, dan Shores dalam buku mereka yang berjudul Fundamental of Curriculum (1950), atau dalam Curriculum Theoru yang disusun oleh Beauchamp (1981). Mereka merumuskan kurikulum sebagai sebuah desain kelompok sosial untuk dijadikan pengalaman belajar anak di dalam sekolah.
Ada tiga perspektif desain kurikulum yang berorientasi pada kehidupan masyarakat, yaitu prespective status quo (the status quo perspective), perspektif reformis (the reformist perspektif), dan perspektif masa depan (the future perspective).
a.      Perspektif Status Quo (the status quo perspective)
Rancangan kurikulum ini diarahkan untuk melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat. Dalam perspektif ini kurikulum merupakan perencanaan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada anak didik sebagai persiapan menjadi orang dewasa yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat.
b.      Prespektif Pembaharuan (the reformist perspective)
Kurikulum pada perspektif ini dikembangkan untuk lebih meningkatkan kulitas masyarakat itu sendiri. Kurikulum reformis menghendaki peran serta masyarakat secara total dalam proses pendidikan. Pendidikan dalam perspektif ini harus berperan untuk mengubah tatanan sosial masyarakat. Menurut pandangan reformis, dalam proses pembangunan pendidikan sering digunakan untuk menindas masyarakat miskin untuk kepentingan elit yang berkuasa atau untuk mempertahankan struktur sosial yang sudah ada. Maka dari itu, menurut aliran reformis, pendidikan harus mampu mengubah keadaan masyarakat itu. Baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal harus mengabdikan diri demi tercapainya orde sosial baru berdasarkan pembagian kekuasaan dan kekyaan yang lebih merata dan adil.[7]


c.       Perspektif Masa Depan (the futurist perspective)
Perspektif masa depan sering dikaitkan dengan kurikulum rekonstruksi sosial, yang menekankan kepada proses mengembangkan hubungan antara kurikulum dan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Model kurikulum ini lebih mengutamakn kepentingan sosial daripada kepentingan individu. Setiap individu diharapkan mampu mengenali berbagai permasalahan yang ada di masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan yang sangat cepat. Dengan pemahaman tersebut akan memungkinkan setiap individu dapat mengembangkan masyarakatnya sendiri.[8]
Tujuan dari kurikulum dalam perspektif ini adalah mempertemukan siswa dengan masalah-masalah yang dihadapi umat manusia. Para ahli rekonstruksi sosial percaya, bahwa masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, bukan hanya dapt dipecahkan melalui “Bidang Studi” sosial saja, akan tetapi oleh setipa disiplin ilmu termasuk di dalamnya, ekonomi,, estetika, kimia, dan matematika. Berbagai macam krisis yang dialami oleh masyarakat harus menjadi bagian dari isi kurikulum.

3.      Desain Kurikulum Berorientasi pada Siswa
Asumsi yang mendasari desain ini adalah bahwa pendidikan diselenggarakan untuk membantu anak didik. Oleh karenanya, pendidikan tidak boleh terlepas dari kehidupan anak didik. Kurikulum yang menekankan pada siswa sebagai sumber isi kurikulum. Segala sesuatu yang menjadi isi kurikulum tidak boleh terlepas dari kehidupan siswa sebagai peserta didik. Dalam mendesain kurikulum yang berorientasi pada siswa, Alice Crow (Crow & Crow, 1955) menyarankan hal-hal sebagai berikut:
a.     Kurikulum harus disesuaikan dengan perkembangan anak.
b.    Isi kurikulum harus mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dianggap berguna untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.
c.    Anak hendaknya ditempatkan sebagai subjek belajar yang berusaha untuk belajar sendiri. Artinya, siswa harus didorong untuk melakukan berbagai aktivitas belajar, bukan hanya sekedar menerima informasi dari guru.
d.   Diusahakan apa yang dipelajari siswa sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat perkembangan mereka. Artinya, apa yang seharusnya dipelajari bukan ditentukan dan dipandang baik dari sudut guru atau dari sudut orang lain akan tetapi ditentukan dari sudut anak itu sendiri.
Desain kurikulum yang berorientasi pada anak didik, dapat dilihat minimal dari dua perspektif, yaitu perspektif kehidupan anak d masyarakat (the child-in-society perspective) dan perspektif psikologi (the psychological curriculum perspective).
1.      Perspektif Kehidupan Anak di Masyarakat
Francis Parker, seorang tokoh yang menganjurkan siswa sebagai sumber kurikulum percaya bahwa hakikat belajarbagi siswa adalah apabila siswa belajar secar riil dari kehidupan mereka di masyarakat. Kurikulum bagi parker harus dimulai dari apa yang pernah dialamai siswa seperti pengalaman dalam keluarga, lingkungan fisik dan lingkungan sosial mereka, serta dari hal-hal yang ada di sekeliling mereka.[9]
Berbeda dengan kurikulum konvensional, menurut Parker proses pembelajaran bukan hany menghafal dan menguasai materi pelajaran seperti yang tertera pada buku atau teks, akan tetapi bagaimana seorang anak itu belajar dalam kehidupan nyata di masyarakat. Proses pembelajaran bukan hanya mengembangkan kemampuan intelektual dengan memahami sejumlah teori dan fakta saja, akan tetapi bagaimana proses belajar itu dapat mengembangkan seluruh aspek kehidupn siswa. Misalnya, belajar tentang bahasa, anak tidak tidak perlu menghafal aturan tata bahasa, akan tetapi bagaimana aturan tata bahasa itu diterapkan dalam percakapan sehari-hari di masyarakat.
Dari penjelasan di atas, maka kurikulum berorientasi pada anak dalam perspektif kehidupan di masyarakat, mengharap materi kurikulum yang dipelajari di sekolah serta pengalaman belajar, didesain sesuai dengan kebutuhan anak sebagai persiapan agar mereka dapat hidup di masyarakat.
2.      Perspektif Psikologis
Dalam perspektif psikologis, desain kurikulum yang berorientasi kepada siswa, sering diartikan juga sebagai kurikulum yang bersifat humanistik, yang muncul sebagai reaksi terhadap proses pendidkan yang hanya mengutamakan segi intelektual. Menurut para pengembang kurikulum ini, tugas dan tanggung jawab pendidkan di sekolah bukan hanya mengembangkan segi intelektual siswa saja, akan tetapi mengembangkan seluruh pribadi siswa sehingga dapat membentuk manusia yang utuh.
Menurut pendidikan humanistik setiap manusia memiliki potensi, punya kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Segala potensi yang dimiliknya itu sangat menentukan dalam proses pengembangan tingkah laku. Oleh karena itulah, kurikulum didesain untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa.[10]
Tidak seperti pada kurikulum subjek akademis di mana pelaksanaan evaluasi diarahkan untuk melihat keberhasilan siswa dalam menguasai materi pelajaran, pelaksanaan evaluasi dalam kurikulum humanistik lebih ditekankan kepada proses belajar. Kriteria keberhasilan ditentukan oleh perkembangan anak supaya menjadi manusia yang terbuka dan berdirisendiri. Proses pembelajaran yang bagus menurut kurikulum ini adalah manakala memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

4.      Desain Kurikulum Teknologis
Model desain kurikulum teknologi difokuskan kepada efektivitas program, metode, dan bahan-bahan yang dianggap dapat mencapai tujuan. Perspektif teknologi telah banyak dimanfaatkan pada berbagai konteks, misalnya pada program pelatihan di lapangan industri dan militer. Desain sistem instruksional menekankan kepada pencapaian tujuan yang mudah diukur, aktivitas, dan tes, serta pengembangan bahan-bahan ajar.[11]
Teknologi memengaruhi kurikulum dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerapan hasil-hasil teknologi dan penerapan teknologi sebagai suatu sistem.
Sisi pertama yang berhubungan dengan penerapan teknologi adalah perencanaan yang sistematis dengan menggunakan media atau alat dalam kegiatan pembelajaran. Penggunaan dan pemanfaatan alat tersebut semata-mata untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Contoh penerapan hasil-hasil teknologi itu di antaranya adalah pembelajaran dengan bantuan komputer (computer-assisted intruction), pengajaran melalui radio, film, video, dan lain sebagainya.
Teknologi sebagai suatu sistem, menekankan kepada penyusunan program pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem yang ditandai dengan perumusan tujuan khusus sebagai tujuan tingkah laku yang harus dicapai. Jadi, penerapan teknologi sebagai suatu sistem itu tidak ditentukan oleh penerapan hasil-hasil teknologi akan tetapi bagaimana merancang implementasi kurikulum dengan pendekatan sistem.
Menurut MCNeil (1990), tujuan kurikulum teknologis ditekankan kepada pencapaian perubahan tingkah laku yang dapat diukur. Tujuan-tujuan itu biasanya diambil dari setiap mata pelajaran (disiplin ilmu).
Sebagai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, maka organisasi bahan pelajaran dalam kurikulum teknologis mempunyai ciri-ciri: pertama, pengorganisasian materi kurikulum berpatokan pada rumusan tujuan, kedua, materi kurikulum disusun secara berjenjang, dan ketiga, materi kurikulum disusun dari mulai yang sederhana menuju yang kompleks.
Selanjutnya untuk efektivitas dan keberhasilan implementasi kurikulum teknologi hendaklah memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:[12]
1.    Kesadarn akan tujuan, artinya siswa perlu memahami bahwa pembelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, siswa perlu diberi penjelasan tujuan apa yang harus dicapai.
2.    Dalam pembelajaran siswa diberi kesemptan mempraktikkan kecakapan sesuai dengan tujuan.
3.    Siswa perlu diberi tahu hasil yang telah dicapai. Dengan demikian, siswa perlu menyadari apakah pembelajaran sudah dianggap cukup atau masih perlu bantuan.
  
C.    Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang seseorng terhadap suatu proses tertentu. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Dengan demikian, pendekatan pengembangan kurikulum menunjuk pada pada titik tolak atau sudut pandang secara umum tentang proses pengembangan kurikulum.[13]
Dilihat dari cakupan pengembangannya apakah curriculum construction atau curriculum improvement, ada dua pendekatan yang dapat diterapkan dalam pengembangan kurikulum. Pertama, pendekatan top down atau pendekatan administratif, yaitu pendekatan dengan sistem komando dari atas ke bawah, dan kedua adalah pendekatan grass roots, atau pengembangan kurikulum yang diawali oleh inisiatif dari bawah lalu disebarluaskan pada tingkat atau skala yang lebih luas, dengan istilah singkat sering dinamakan pengembangan kurikulum dari bawah ke atas.
1.      Pendekatan Top Down
Dikatan pendekatan top down, disebabkan pengembangan kurikulum muncul atas inisiatif para pejabat pendidikan atau para administrator atau dari para pemegang kebijakan (pejabat) pejabat pendidikan seperti dirjen atau para kepala kantor Wilayah.[14]
Pendekatan top down bisa dilakukan baik untuk menyusun kurikulum yang benar-benar baru (curriculum construction) ataupun untuk penyempurnaan kurikulum yang sudah ada (curriclum improvement).
Prosedur kerja atau proses pengembangan kurikulum model ini dilakukan kira-kira sebagai berikut.
Langkah Pertama, dimulai dengan pembentukan tim pengarah oleh pejabat pendidikan. Anggota ini terdiri dari para pengawas pendidikan, ahli kurikulum, para ahli dsiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kera. Tugas tim ini adalah merumuskan konsep dasar, garis-garis besar kebijakan, menyiapkan rumusan falsafah, dan tujuan umum pendidikan.
Langkah kedua, adalah menyusun tim atau kelompok kerjauntuk menjabarkan kebijakan atau rumusan-rumusan yang telah disusun oleh pengarah tim. Anggota dari kelompok ini adalah para ahli kurikulum, para ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, bahkan guru-guru senior yang sudah dianggap berpengalaman. Tugas dari tim ini yaitu merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional dari tujuan-tujuan umum, memilih dan menyusun sequence bahan pelajaran, memilih strategi pengajaran dan alat atau petunjuk evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru.
Ketiga, apabila kurikulum sudah selesai disusun oleh tim atau kelompok kerja, selanjutnya hasilnya diserahkan kepada tim perumus untuk dikaji dan diberi catatan atau direvisi.
Keempat, para administrator selanjutnya memerintahkan kepada setipa sekolah untuk mengimplementasikan kurikulum yang telah tersusun itu.
Dari langkah-langkah pengembangan seperti di atas, maka tampak jelas bahwa inisiatif penyempurnaan atau perubahan kurikulum mulai dari pemegang kebijakan kurikulum, atau para pejabat yang berhubungan dengan pendidkan, sedangkan tugas guru hanya sebagai pelaksana kurikulum yang telah ditentukan oleh para pemegang kebijakan. Maka dari itulah, proses pengembangan degan pendekatan top down dinamakan juga pendekatan dengan sistem komando.
2.      Pendekatan Grass Roots
Dalam pendekatan ini, inisiatif pengembangan kurikulum dimulai dari lapangan atau dari guru-guru sebagai implementator, kemudian menyebar pada lingkungan yng lebih luas, makanya pendekatan ni dinamakan juga pengembangan kurikulum dari bawah ke atas. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam penyempurnaan kurikulum (curriculum improvement), walaupun dalam skala yang terbatas mungkin juga digunakan dalam pengembangan kurikulum baru (curriculum construction).[15]
Model ini didasarkan pada dua pandangan pokok, yaitu: pertama, implementasi kurikulum akan lebh berhasil apabila guru-guru sebagai pelaksana sudah dari sejak semula terlibat secara langsung dalam pengembangan kurikulum. Kedua, pengembangan kurikulum bukan hanya melibatkan personel yang profesional (guru) saja, tetapi siswa, orang tua, dan anggota masyarakat. Dalam kegiatan pengembangan kurikulum demikian, kerja sama dengan orang tua murid dan masyarakat sangatlah penting. Kerja sama di antara sesama guru dengan sendirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari model ini.
Model grass-roots ini didasarkan atas empat prinsip, yaitu: (a) kurikulum akan bertambah baik, jika kemampuan profesional guru bertambah baik; (b) kompetensi guru akan bertambah baik, jika guru terlibat secara pribadi di dalam merevisi kurikulum; (c) jika guru terlibat dalam merumuskan tujuan yang ingin dicapai, menyeleksi, mendefinisikan dan memecahkan masalah, mengevaluasi hasil, maka hasil pengembangan kurikulum akan lebih bermakna; dan (d) hendaknya di antara guru-guru terjadi kontak langsung sehingga mereka dapat saling memahami dan mencapai suatu konsensus tentang prinsip-prinsip dasar, tujuan, dan rencana.
Namun, Jika dilihat dari aspek perencanaannya,  ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum, antara lain sebagai berikut:[16]
1.      Pendekatan kompetensi (Competency Approach)
Kompetensi adalah jalinan terpadu yang unik antara pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam pola pikir dan pola bertindak. Pendekatan ini menitikberatkan pada semua ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ciri-ciri pokok dari pendektan ini adalah berpikir teratur dan sistematik, sasaran penilaian lebih difokuskan pada tingkat penguasaan, dan kemampuan memperbarui diri (regenerative capability).
Prosedur penggunaan pendekatan ini adalah (a) menetapakan standar kompetensi lulusan yang harus dikuasai oleh para lulusan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan, (b) memerinci perangkat kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh para lulusan, (c) menetapkan bentuk dan kualitas pengalaman belajar melalui bidang studi atau mata pelajaran (jika perlu menciptakan mata pelajaran baru) dan kegiatan-kegiatan pendukung lainnya yang relevan, (d) mengembangkan silabus, (e) mengembangkan skenario belajar, (f) mengembangkan perangkat lunak (soft-ware) pembelajaran, dan (g) mengembangkan sistem penilaian.[17]
Menurut Warijan dkk (1984) mengemukakan langkah-langkah pengembangan kurikulum berdasarkan pendekatan kompetensi, yaitu “mengidentifikasi kompetensi, merumuskan tujuan pendidikan, menyusun pengalaman belajar, menetapkan topik dan subtopik, menetapkan waktu, memberi nama mata pelajaran, dan menetapkan bobot SKS”.
a.       Mengidentifikasi kompetensi, yaitu menetapkan dan mendeskripsikan ciri-ciri, jenis dan mutu kompetensi yang harus dimiliki peserta didik agar dapat melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu atau melaksanakan tugas untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
b.      Merumuskan tujuan pendidikan, yaitu memperlakukan kompetensi yang telah diidentifikasi pada poin (a) sebagai tujuan institusional. Dari tujuan institusional itu dapat dirumuskan tujuan-tujuan kurikuler dan tujuan-tujuan pembelajaran dengan cara menjabarkan kompetensi itu.
c.       Menyusun pengalaman belajar, yaitu menyediakan pengalaman-pengalaman belajar yang diperlukan peserta didik untuk dapat melaksanakan langkah-langkah tugas yang disebutkan pada poin (b).
d.      Menetapkan topik dan subtopik, yaitu mengidentifikasi pokok bahasan dan subtopik bahasan sebagai isi atau persoalan-persoalan yang dibahas untuk memperoleh pengalaman-pengalaman belajar yang disebutkan pada pin (c).
e.       Menetapkan waktu yang diperlukan untuk mempelajari topik dan subtopik dengan memperhatikan kegiatan tatap muka, berstruktur dan mandiri.
f.       Mengalokasikan waktu utnuk tiap topik dan subtopik denagn menjawab pertanyaan “Berapa jam yang diperlukan oleh peserta didik untuk mempelajari tiap topik dan subtopik?”
g.      Memberi nama mata pelajaran dengan cara mengorganisasikan terlebih dahulu topik dan subtopik yang relevan menjadi sattuan bahan pembelajaran.
h.      Menetapkan bobot SKS setiap mata pelajaran sesuai dengan jumlah jam pelajaran yang diperlukan peserta didik  untuk mempelajari semua topik dan subtopik dari sesuatu mata pelajaran.
Para pengembang kurikulum harus memberikan kesempatan kepada peserta didikuntuk menilai penguasaan kemampuannya atas bahan yang akan disajikan bahkan sebelum bahan tersebut dikerjakan (pre test).
Ciri pendekatan kompetensi yang tidak kalah pentingnya adalah penjaringan dan pengolahan informasi balikan (feedback) secara teratur untuk melakukan perbaikan secara berkesinambungan sehingga kurikulum memiliki mekanisme untuk memperbaiki diri (regenerative capability), baik tingkat lembaga maupun di tingkat nasional. Di Indonesia, pendekatan kompetensi mulai dipopulerkan sejak awal tahun 1970-an melalui laporan studi pra-investasi yang kemudian melahirkan kerjasama First-Indonesia-IBRD Teacher Training Project antara pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia di dalam peningkatan pendidikan guru. Pendekatan kompetensi baru diterapkan sejak kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis kompetensi. (KBK).[18]

2.      Pendekatan Sistem (System Approach)
Sistem adalah totalitas atau keseluruhan komponen yang saling berfungsi, berinteraksi, berinterelasi dan interdependensi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Komponen sistem ada yang sederhana sehingga dapat ditetapkan terlebih dahulu, tetapi ada juga yang kompleks sehingga belum dapat ditetapkan. Jika komponen-komponen kurikulumnya sederhana, kita dapat melihatnya seperti gambar berikut ini:[19]


 









              
                  Gambar 1.1
                    Pendekatan Sistem dalam Pengembangan Kurikulum

Dalam pengembangan kurikulum mungkin saja komponen-komponennya sangat kompleks sehingga hanya dapat dipertimbangkan seperti sebuah kotak hitam (black box) yang mekanismenya tidak dapat dipahami secara utuh. Perhatikan gambar berikut ini:[20]







Rounded Rectangle: Input

- Peserta didik
- Manusia & teknik
- Biaya
- Informasi
Rounded Rectangle: Sistem

Proses
Pengembangan
Kurikulum (black box)
Rounded Rectangle: Output

Kemampuan
Peserta Didik yang sudah diperbaiki
 







Gambar 1.2
Model Black Box dalam Pendekatan Sistem

Berdasarkan gambar di atas, maka ciri-ciri sistem adalah adanya tujuan, fungsi, kompone, interaksi, dan interdependensi, penggabungan yang menimbulkan jalinan keterpaduan, proses transformasi, umpan balik untuk perbaikan, dan lingkungan hidup.
Pendekatan sistem adalah penggunaan berbagai konsep yang serasi dari teori sistem yang umum untuk mamahami teori organisasi dan praktik manajemen. Pendekatan sistem terdiri atas beberapa aspek, antara lain: (a) filsafat sistem, yaitu sebagai cara berpikir (way of thinking) tentang fenomena secara keseluruhan, (b) analisis sistem, yaitu metode atau teknik di dalam memecahkan masalah (problem of solving) atau pengambilan keputusan (decision making), dan (c) manajemen sistem, yaitu aplikasi teori sistem di dalam mengelola sistem organisasi.
Pendekatan sistem juga dapat diartikan sebagai suatu sistem yang berupa proses. Inti dari pendekatan sistem yang berupa proses adalah merumuskan masalah, mengidentifikasi strategi pemecahan masalah, dan evaluasi.[21]
3.    Pendekatan Klarifikasi Nilai (Value Clarification Approach)
Klarifikasi nilai adalah langkah pengambilan keputusan tentang prioritas atas keyakinan sendiri berdasarkan pertimbangan yang rasional, logis, sesuai dengan perasaannya dan perasaan orang lain serta aturan yang berlaku. Dalam pendekatan ini menekankan agar peserta didik dapat mengemukakan pendapatnya sendiri tentang isu-isu yang merupakan konflik nilai disamping ada pendapat guru.[22]
Ciri-ciri pengembangan kurikulum berdasarkan pendekatan klarifikasi nilai, antara lain: (a) peran guru kurang dominan dalam pembelajaran, (b) guru sedikit memberikan informasi dan lebih banyak mendengarkan penjelasan dari peserta didik, (c) guru lebih sering menggunakan metode tanya jawab, (d) tidak banyak kritik dan destruktif, dan lain sebagainya.
Tujuan dari klarifikasi nilai antara lain: (a) mengukur dan mengetahui tingkat kesadaran peserta didik tentang suatu nilai, (b) menyadarkan peserta didik tentang nilai-nilai yang dimilikinya, baik tingkat maupun sifatnya, (c) menenamkan nilai kepada pserta didik melalui contoh nyata atau keteladanan dan cara-cara yang rasional, yang dapat diterima oleh peserta didik sebagai pemilik pribadinya.dalam pembelajaran tentang nilai banyak teknik yang dapat digunakan, di antaranya: teknik evaluasi diri (self-evaluation) dan evaluasi kelompok (group evaluation), ceramah (lecturing), permainan (games), tanya jawab, dan lan sebagainya. pendekatan klarifikasi nilai ini banyak digunakan pada mata pelajaran pendidikan agama, pendidikan moral, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan budi pekerti, dan pengembangan sikap.
4.    Pendekatan Komprehensif (Comprehensive Approach)
Pendekatan ini melihat, memperhatikan, dan menganalisis kurikulum secara keseluruhan. Semua masalah yang berkaitan dengan kurikulum diidentifikasi secara global oleh pengembang kurikulum. Pendekatan ini sama dengan pendekatan top down dikarenakan hal yang pertama dilakukan adalah merumuskan filsafat pendidikan, visi-misi dan tujuan pendidikan dan serta sasaran yang ingin dicapai. Setelah itu merancang perencanaan dan strategi pelaksanaan guna mencapai sasaran. Dari hasil percobaan tersebut dilakukan evaluasi terhadap perencanaan sebagai bahan feedback untuk semua langkah yang telah dilakukan. Selanjutnya, dilakukan revisi dan penyempurnaan terhadap pendekatan secara keseluruhan. Sebelum pendekatan tersebut diterapkan di sekolah, sebaiknya guru dilibatkan dalam diskusi kelompok kecil untuk memperoleh masukan-masukan yang positif dan konstruktif.[23]
5.    Pendekatan yang Berpusat pada Masalah (Problem-Centered Approach)
Pengembangan kurikulum dengan pendekatan ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi berbagai masalah kurikulum secara khusus. Para guru diminta berbagai informasi tentang masalah-masalah, keinginan atau harapan, dan kesulitan-keulitan yang mereka hadapi dalam mata pelajaran, seperti perbaikan cara penampilan, penggunaan multimetode dan media dalam pembelajaran, serta sistem penilaian. Melalui pendekatan ini, guru merasa sangat dihargai karena pendapat atau saran mereka didengar bahkan dijadikan bahan pertimbangan dalam pengembangan kurikulum. Pengembang kurikulum harus duduk bersama guru untuk membahas silabus yang berlaku dan mencari aleternatif pemecahannya.[24]
6.    Pendekatan Terpadu
Pendekatan ini bertitik tolak dari suatu keseluruhan atau kesatuan yang bermakna dan berstruktur. Keseluruhan bukanlah penjumlahan dari bagian-bagian, melainan suatu totalitas yang memiliki makna sendiri. Pendekatan terpadu adalah suatu pendekatan yang memadukan keseluruhan bagian dan indikator-indikatornya dalam suatu bingkai kurikulum untuk mencapai tujuan tertentu. Bagian yang dimaksud menggambarkan (a) hasil belajar peserta didik (kognitif, afektif dan psikomotor), (b) tahap-tahap pengembangan kurikulum (perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan pengendalian), dan (c) program pendidikan yang ditawarkan, seperti program pendidikan umum, program pendidikan agama, dan program pendidikan pilihan. Pendekatan terpadu dapat dilaksanakan dalam berbagai tingkatan, baik pada tingkat makro, tingkat instuisi, tingkat mikro, maupun tingkat individual. Dalam studi tentang kurikulum terdapat juga dua pendekatan populer, yaitu pendekatan sentralisasi dan pendekatan desentralisasi.
a.        Pendekatan Sentralisasi
Pendekatan ini sering juga disebut pendekatan top down, yaitu pendekatan dengan menggunakan sistem komando (dari atas ke bawah).
b.        Pendekatan Desentralisai (Decentrelized Approach)
Pendekatan ini disebut juga pendekatan grass-rooth, yaitu suatu pendekatan yang dimulai dari akar rumput, dalam hal ini adalah guru sebagai ujung tombak pengembangkurikulum di tingkat sekolah, baik secara individual atau kelompok.[25]


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Yang dimaksud desain adalah rancangan, pola, atau model. Mendesain kurikulum berarti menyusun rancangan atau menyusun model kurikulum sesuai dengan misi dan visi sekolah.
Desain kurikulum yang berorientasi pada anak didik, dapat dilihat minimal dari dua perspektif, yaitu perspektif kehidupan anak d masyarakat (the child-in-society perspective) dan perspektif psikologi (the psychological curriculum perspective). Dilihat dari cakupan pengembangannya apakah curriculum construction atau curriculum improvement, ada dua pendekatan yang dapat diterapkan dalam pengembangan kurikulum. Pertama, pendekatan top down atau pendekatan administratif, yaitu pendekatan dengan sistem komando dari atas ke bawah, dan kedua adalah pendekatan grass roots, atau pengembangan kurikulum yang diawali oleh inisiatif dari bawah lalu disebarluaskan pada tingkat atau skala yang lebih luas, dengan istilah singkat sering dinamakan pengembangan kurikulum dari bawah ke atas.




DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Idi, Abdullah, Pengembangan Kurikulum Teori dan Prakti, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Nasution, S, Asas-Asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: Grafindo,1986.
Sukmadinata,  Nana S. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.





[1] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 63.
[2] Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2007), 193.
[3] Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan,...193.

[4] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran,... 65.

[5] Ibid., 66.
[6] Ibid., 67.
[7] Sukmadinata, Nana, S., Pengembangan Kurikulum: teori dan Praktek (Bandung: PT Rosda Karya, 2002), 78.
[8] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, ..., 72.
[9] Ibid., 73.
[10] Ibid., 74.
[11] Ibid., 75.
[12] Ibid., 76.
[13] Ibid., 77.
[14] Ibid., 78.
[15] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, ... 79.
[16] Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011 ), 113.

[17] Ibid., 114.
[18] Ibid., 115-116.
[19] Ibid., 117.
[20] Ibid., 118.
[21] Ibid., 119.
[22] Ibid., 120.
[23] Ibid., 122.
[24] Ibid., 123.
[25] Ibid., 126.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar