DESAIN KURIKULUM DAN PENDEKATAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
Makalah ini untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Pengembangan Kurikulum”
Dosen Pembimbing :
Dr.
H. Ach. Muhibbin Zuhri, M.Ag
Oleh :
Widya Rahma (D31212116)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SURABAYA
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembinaan
kurikulum adalah kegiatan yang mengacu pada usaha untuk melaksanakan,
mempertahankan, dan menyempurnakan kurikulum yang telah ada, guna memperoleh
hasil yang maksimal. Pelaksanaan kurikulum sendiri diwujudkan dalam proses
belajar mengajar sesuai dengan prinsip-prinsip dan tuntutan kurikulum yang
dikembangkan sebelumnya bagi pendidikan/sekolah tertentu.
Dengan demikian, pembinaan kurikulum di sekolah
dilakukan, setelah melalui tahap pengembangan kurikulum, atau setelah
terbentuknya kurikulum baru.
Pengembangan
kurikulum sebagai tahap lanjutan dari pembinaan, yakni kegiatan yang mengacu
untuk menghasilkan suatu kurikulum baru. Dalam kegiatan tersebut meliputi
penyususnan-penyusunan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan. Melalui
tahap-tahap tersebut akan menghasilkan kurikulum baru. Dan dengan terbentuknya
kurikulum baru, maka tugas pengembangan telah selesai.
Pengembangan
kurikulum adalah sebuah proses siklus yang tidak pernah ada titik awal dan
akhirnya. sebab, pengembangan kurikulum ini merupakan suatu proses yang
bertumpu pada unsure-unsur dalam kurikulum, yang didalamnya meliputi tujuan,
metode, material, penilaian dan balikan (feed back).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah peran desain kurikulum dalam perkembangannya ?
2. Bagaimanakah pendekatan dan model pengembangan kurikulum ?
C.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan
rumusan masalah yang diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Mengetahui dan memahami peran desain kurikulum dalam
perkembangannya.
2. Mengetahui dan memahami pendekatan dan model pengembangan
kurikulum.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Desain Kurikulum
1.
Pengertian Desain
Kurikulum
Yang dimaksud desain adalah rancangan, pola, atau
model. Mendesain kurikulum berarti menyusun rancangan atau menyusun model
kurikulum sesuai dengan misi dan visi sekolah. Tugas dan peran seorang desainer
kurikulum, sama seperti seorang arsitek. Sebelum menentukan bahan dan cara
mengkontruksi bangunan terlebih dahulu seorang arsitek harus merancang model
bangunan yang akan dibangun.[1]
Fred Percival
dan Henry Ellington (1984) mengemukakan bahwa desain kurikulum adalah
pengembangan proses perencanaan, validasi, implementasi, dan evaluasi
kurikulum. Selanjutnya, Saylor mengajukan delapan prinsip sebagai acuan dalam
desain kurikulum. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.[2]
1. Desain kurikulum harus memudahkan dan mendorong seleksi serta
pengembangan semua jenis pengalaman belajar yang esensial bagi pencapaian
prestasi belajar, sesuai dengan hasil yang diharapkan.
2. Desain memuat berbagai pengalaman belajar yang bermakna dalam rangka
merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan, khususnya bagi kelompok siswa yang
belajar dengan bimbingan guru.
3. Desain harus memungkinkan dan menyediakan peluang bagi guru
untuk menggunakan prinsip-prinsip belajar dalam memilih, membimbing, dan
mengembangkan berbagai kegiatan belajar di sekolah.
4. Desain harus memungkinkan guru untuk menyesuaikan pengalaman
dengan kebutuhan, kapasitas, dan tingkat kematangan siswa.
5. Desain harus mendorong guru mempertimbangkan berbagai pengalaman
belajar anak yang diperoleh di luar sekolah dan mengaitkannya dengan kegiatan
belajar di sekolah.
6. Desain harus menyediakan pengalaman belajar yang
berkesinambungan, agar kegiatan belajar siswa berkembang sejalan dengan
pengalaman terdahulu dan terus berlanjut pada pengalaman berikutnya.
7. Kurikulum harus didesain agar dapat membantu siswa mengembangkan
watak, kepribadian, pengalaman, dan nilai-nilai demokrasi yang menjiwai kultur
dan,
8. Desain kurikulum harus realistis, layak, dan dapat diterima.
Jadi, desain kurikulum dapat didefinisikan sebagai
rencana atau komponen dari unsur-unsur kurikulum yang tersiri dari tujuan, isi,
pengalaman belajar, dan evaluasi. Penyusunan desain kurikulum terbagi menjadi
dua dimensi yaitu, dimensi horisontal dan vertikal. Dimensi horisontal
berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Susunan lingkup ini
sering diintegrasikan dengan proses belajar dan mengajarnya. Sedangkan dimensi
vertikal menyangkut penyusunan sekuens, bahan berdasarkan urutan tingkat
kesukaran. Bahan tersusun mulai dari yang mudah, kemudian menuju pada yang
lebih sulit, atau mulai dengan yang dasar diteruskan dengan yang lanjutan.[3]
B.
Model Desain
Kurikulum
Dari uraian di atas kita akan mengkaji beberapa model
desain kurikulum berikut ini:
1.
Desain Kurikulum
Disiplin Ilmu
Menurut Longstreet (1993) desain kurikulum ini
merupakan desain kurikulum yang berpusat kepada pengetahuan (the knowledge
centered design) yang dirancang berdasarkan struktur disiplin ilmu, oleh
karena itu model desain ini dinamakan juga model kurikulum subjek akademis yang
penekanannya diarahkan untuk pengembangan intelektual siswa.[4]
Model kurikulum yang berorientasi pada pengembangan
intelektual siswa, dikembangkan oleh para ahli mata pelajaran sesuai ilmu
masing-masing. Mereka menyusun materi pembelajaran apa yang harus dikuasai oleh
siswa baik menyangkut data dan fakta, konsep maupun teori yang da dalam setiap
disiplin ilmu mereka masing-masing.
Dalam implementasinya, strategi yang banyak digunakan
adalah strategi ekspositori. Melalui strategi, gagasan atau informasi
disampaikan oleh gurusecara langsung kepada siswa. Selanjutnya siswa dituntut
untuk memahami, mencari landasan logika, dan dukungan fakta yang dianggap
relevan.
Salah satu contoh kurikulum yang berorientasi pada
disiplin ilmu atau disebut juga kurikulum subjek akademis adalah Man: a
Course of Study (MACOS), yang dirancang untuk memperbaiki proses perbaikan
pengajaran-pengajaran ilmu-ilmu sosial dan humanistis.
Tujuan utama kurikulum MACOS adalah perkembangan
intelektual, yaitu membangkitkan penghargaan dan keyakinan atau kemampuan
sendiri dengan memberikan serangkaian cara kerja yang memungkinkan anak mampu
menganalisis kehidupan sosial walaupun dengan cara yang sederhana.
Terdapat tiga bentuk organisasi kurikulum yang
berorientasi pada disiplin ilmu, yaitu: subject centered curruculum,
correlated curriculum, dan integrated curriculum.
a.
Subject Centered
Curriculum
Pada Subject
Centered Curriculum, bahan atau isi kurikulum disusun dalam bentuk mata
pelajaran yang terpisah-pisah, misalnya: mata pelajaran sejarah, bumi, kimia,
fisika, berhitung, dan lain sebagainya. Seorang guru harus bertanggung jawab
pada mata pelajaran yang diajarkan atau diberikan kepada siswanya.walaupun mata
pelajaran itu diberikan oleh guru yang sama, maka hal ini juga dilaksanakan
secara terpisah-pisah. Oleh karena organisasi bahan atau isi kurikulum berpusat
pada mata pelajaran secara terpisah-pisah, maka kurikulumini juga dinamakan separated
subject curriculum.
b.
Correlated
Curriculum
Pada
organisasi kurikulum ini, mata pelajaran tidak disajikan secara terpisah, akan
tetapi mata pelajaran-mata pelajaran yang memiliki kedekatan atau mata
pelajaran sejenis dikelompokkan sehingga menjadi suatu bidang studi (broadfield),
seperti misalnya mata pelajaran geografi, sejarah, ekonomi dikelompokkan dalam
bidang studi IPS. Demikian pula dengan mata pelajaran, biologi, kimia, fisika,
dikelompokkan menjadi bidang studi IPA.[5]
Mengorelasikan
bahan atau isi materi kurikulum dapat dilakukan dengn beberapa pendekatan,
yaitu:
1.
Pendekatan Struktural
Dalam
pendekatan ini, kajian suatu pokok bahasan ditinjau dari beberapa mata
pelajaran sejenis. Seperti misalnya, kajian suatu topik tentang geografi tidak
semata-mata ditinjau dari sudut geografi saja, akan tetapi juga ditinjau dari
sejarah, ekonomi, atau mngkin budaya.
2.
Pendekatan
Fungsional
Pendekatan
ini berdasarkan kepada pengkajian masalah yang berarti dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, suatu topik tidak diambil dari mata pelajaran
tertentu akan tetapi diambil dari apa yang dirasakan perlu untuk anak,
selanjutnya topik itu dikaji oleh berbagai mata pelajaran yang memiliki
keterkaitan.
3.
Pendekatan Daerah
Pada
pendekatan ini materi pelajaran ditentukan berdasarkan lokasi atau tempat.
Seperti mengkaji daerah ibu kota ditinjau dari keadaan iklim, sejarah, sosial
budayanya, ekonominya, dan lain sebagainya.
c.
Integrated
Curriculum
Pada
organisasi kurikulum yang menggunakan model integrated, tidak lagi
menampakkan nama-nama mata pelajaran atau bidang studi. Belajar berangkat dari
suatu pokok masalah yang harus dipecahkan. Masalah tersebut kemudian dinamakan
unit. Belajar melalui pemecahan masalah itu diharapkan perkembangan siswa tidak
hanya terjadi pada segi intelektual saja akan tetapi seluruh aspek seperti
sikap, emosi, atau keterampilan.
2.
Desain Kurikulum
Berorientasi pada Masyarakat
Asumsi yang
mendasari bentuk rancangan kurikulum ini adalah, bahwa tujuan dari sekolah
adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kebutuhan
masyarakat harus dijadikan dasar dalam menentukan isi kurikulum.[6]
Contoh desain
kurikulum ini dikembangkan oleh Smith, Stanley, dan Shores dalam buku mereka
yang berjudul Fundamental of Curriculum (1950), atau dalam Curriculum
Theoru yang disusun oleh Beauchamp (1981). Mereka merumuskan kurikulum
sebagai sebuah desain kelompok sosial untuk dijadikan pengalaman belajar anak
di dalam sekolah.
Ada tiga
perspektif desain kurikulum yang berorientasi pada kehidupan masyarakat, yaitu prespective
status quo (the status quo perspective), perspektif reformis (the
reformist perspektif), dan perspektif masa depan (the future perspective).
a.
Perspektif Status
Quo (the status quo perspective)
Rancangan
kurikulum ini diarahkan untuk melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat. Dalam
perspektif ini kurikulum merupakan perencanaan untuk memberikan pengetahuan dan
keterampilan kepada anak didik sebagai persiapan menjadi orang dewasa yang
dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat.
b.
Prespektif
Pembaharuan (the reformist perspective)
Kurikulum
pada perspektif ini dikembangkan untuk lebih meningkatkan kulitas masyarakat
itu sendiri. Kurikulum reformis menghendaki peran serta masyarakat secara total
dalam proses pendidikan. Pendidikan dalam perspektif ini harus berperan untuk
mengubah tatanan sosial masyarakat. Menurut pandangan reformis, dalam proses
pembangunan pendidikan sering digunakan untuk menindas masyarakat miskin untuk
kepentingan elit yang berkuasa atau untuk mempertahankan struktur sosial yang
sudah ada. Maka dari itu, menurut aliran reformis, pendidikan harus mampu
mengubah keadaan masyarakat itu. Baik pendidikan formal maupun pendidikan non
formal harus mengabdikan diri demi tercapainya orde sosial baru berdasarkan
pembagian kekuasaan dan kekyaan yang lebih merata dan adil.[7]
c.
Perspektif Masa
Depan (the futurist perspective)
Perspektif
masa depan sering dikaitkan dengan kurikulum rekonstruksi sosial, yang
menekankan kepada proses mengembangkan hubungan antara kurikulum dan kehidupan
sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Model kurikulum ini lebih mengutamakn
kepentingan sosial daripada kepentingan individu. Setiap individu diharapkan
mampu mengenali berbagai permasalahan yang ada di masyarakat yang senantiasa
mengalami perubahan yang sangat cepat. Dengan pemahaman tersebut akan
memungkinkan setiap individu dapat mengembangkan masyarakatnya sendiri.[8]
Tujuan dari
kurikulum dalam perspektif ini adalah mempertemukan siswa dengan
masalah-masalah yang dihadapi umat manusia. Para ahli rekonstruksi sosial percaya,
bahwa masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, bukan hanya dapt dipecahkan
melalui “Bidang Studi” sosial saja, akan tetapi oleh setipa disiplin ilmu
termasuk di dalamnya, ekonomi,, estetika, kimia, dan matematika. Berbagai macam
krisis yang dialami oleh masyarakat harus menjadi bagian dari isi kurikulum.
3.
Desain Kurikulum
Berorientasi pada Siswa
Asumsi yang
mendasari desain ini adalah bahwa pendidikan diselenggarakan untuk membantu
anak didik. Oleh karenanya, pendidikan tidak boleh terlepas dari kehidupan anak
didik. Kurikulum yang menekankan pada siswa sebagai sumber isi kurikulum.
Segala sesuatu yang menjadi isi kurikulum tidak boleh terlepas dari kehidupan
siswa sebagai peserta didik. Dalam mendesain kurikulum yang berorientasi pada
siswa, Alice Crow (Crow & Crow, 1955) menyarankan hal-hal sebagai berikut:
a.
Kurikulum harus disesuaikan
dengan perkembangan anak.
b. Isi kurikulum harus mencakup keterampilan, pengetahuan, dan
sikap yang dianggap berguna untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.
c. Anak hendaknya ditempatkan sebagai subjek belajar yang berusaha
untuk belajar sendiri. Artinya, siswa harus didorong untuk melakukan berbagai
aktivitas belajar, bukan hanya sekedar menerima informasi dari guru.
d. Diusahakan apa yang dipelajari siswa sesuai dengan minat, bakat,
dan tingkat perkembangan mereka. Artinya, apa yang seharusnya dipelajari bukan
ditentukan dan dipandang baik dari sudut guru atau dari sudut orang lain akan
tetapi ditentukan dari sudut anak itu sendiri.
Desain
kurikulum yang berorientasi pada anak didik, dapat dilihat minimal dari dua
perspektif, yaitu perspektif kehidupan anak d masyarakat (the child-in-society
perspective) dan perspektif psikologi (the psychological curriculum
perspective).
1.
Perspektif Kehidupan
Anak di Masyarakat
Francis Parker,
seorang tokoh yang menganjurkan siswa sebagai sumber kurikulum percaya bahwa
hakikat belajarbagi siswa adalah apabila siswa belajar secar riil dari
kehidupan mereka di masyarakat. Kurikulum bagi parker harus dimulai dari apa
yang pernah dialamai siswa seperti pengalaman dalam keluarga, lingkungan fisik
dan lingkungan sosial mereka, serta dari hal-hal yang ada di sekeliling mereka.[9]
Berbeda
dengan kurikulum konvensional, menurut Parker proses pembelajaran bukan hany
menghafal dan menguasai materi pelajaran seperti yang tertera pada buku atau
teks, akan tetapi bagaimana seorang anak itu belajar dalam kehidupan nyata di
masyarakat. Proses pembelajaran bukan hanya mengembangkan kemampuan intelektual
dengan memahami sejumlah teori dan fakta saja, akan tetapi bagaimana proses
belajar itu dapat mengembangkan seluruh aspek kehidupn siswa. Misalnya, belajar
tentang bahasa, anak tidak tidak perlu menghafal aturan tata bahasa, akan
tetapi bagaimana aturan tata bahasa itu diterapkan dalam percakapan sehari-hari
di masyarakat.
Dari
penjelasan di atas, maka kurikulum berorientasi pada anak dalam perspektif
kehidupan di masyarakat, mengharap materi kurikulum yang dipelajari di sekolah
serta pengalaman belajar, didesain sesuai dengan kebutuhan anak sebagai
persiapan agar mereka dapat hidup di masyarakat.
2.
Perspektif
Psikologis
Dalam
perspektif psikologis, desain kurikulum yang berorientasi kepada siswa, sering
diartikan juga sebagai kurikulum yang bersifat humanistik, yang muncul sebagai
reaksi terhadap proses pendidkan yang hanya mengutamakan segi intelektual.
Menurut para pengembang kurikulum ini, tugas dan tanggung jawab pendidkan di
sekolah bukan hanya mengembangkan segi intelektual siswa saja, akan tetapi
mengembangkan seluruh pribadi siswa sehingga dapat membentuk manusia yang utuh.
Menurut
pendidikan humanistik setiap manusia memiliki potensi, punya kemampuan, dan
kekuatan untuk berkembang. Segala potensi yang dimiliknya itu sangat menentukan
dalam proses pengembangan tingkah laku. Oleh karena itulah, kurikulum didesain
untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa.[10]
Tidak seperti
pada kurikulum subjek akademis di mana pelaksanaan evaluasi diarahkan untuk
melihat keberhasilan siswa dalam menguasai materi pelajaran, pelaksanaan
evaluasi dalam kurikulum humanistik lebih ditekankan kepada proses belajar.
Kriteria keberhasilan ditentukan oleh perkembangan anak supaya menjadi manusia
yang terbuka dan berdirisendiri. Proses pembelajaran yang bagus menurut
kurikulum ini adalah manakala memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
4.
Desain Kurikulum
Teknologis
Model desain
kurikulum teknologi difokuskan kepada efektivitas program, metode, dan
bahan-bahan yang dianggap dapat mencapai tujuan. Perspektif teknologi telah
banyak dimanfaatkan pada berbagai konteks, misalnya pada program pelatihan di
lapangan industri dan militer. Desain sistem instruksional menekankan kepada
pencapaian tujuan yang mudah diukur, aktivitas, dan tes, serta pengembangan
bahan-bahan ajar.[11]
Teknologi memengaruhi
kurikulum dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerapan hasil-hasil
teknologi dan penerapan teknologi sebagai suatu sistem.
Sisi pertama
yang berhubungan dengan penerapan teknologi adalah perencanaan yang sistematis
dengan menggunakan media atau alat dalam kegiatan pembelajaran. Penggunaan dan
pemanfaatan alat tersebut semata-mata untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pembelajaran. Contoh penerapan hasil-hasil teknologi itu di antaranya
adalah pembelajaran dengan bantuan komputer (computer-assisted intruction),
pengajaran melalui radio, film, video, dan lain sebagainya.
Teknologi
sebagai suatu sistem, menekankan kepada penyusunan program pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan sistem yang ditandai dengan perumusan tujuan khusus
sebagai tujuan tingkah laku yang harus dicapai. Jadi, penerapan teknologi
sebagai suatu sistem itu tidak ditentukan oleh penerapan hasil-hasil teknologi
akan tetapi bagaimana merancang implementasi kurikulum dengan pendekatan
sistem.
Menurut
MCNeil (1990), tujuan kurikulum teknologis ditekankan kepada pencapaian
perubahan tingkah laku yang dapat diukur. Tujuan-tujuan itu biasanya diambil
dari setiap mata pelajaran (disiplin ilmu).
Sebagai
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, maka organisasi bahan pelajaran dalam
kurikulum teknologis mempunyai ciri-ciri: pertama, pengorganisasian
materi kurikulum berpatokan pada rumusan tujuan, kedua, materi kurikulum
disusun secara berjenjang, dan ketiga, materi kurikulum disusun dari
mulai yang sederhana menuju yang kompleks.
Selanjutnya
untuk efektivitas dan keberhasilan implementasi kurikulum teknologi hendaklah
memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:[12]
1.
Kesadarn akan tujuan,
artinya siswa perlu memahami bahwa pembelajaran diarahkan untuk mencapai
tujuan. Oleh karena itu, siswa perlu diberi penjelasan tujuan apa yang harus
dicapai.
2.
Dalam pembelajaran siswa
diberi kesemptan mempraktikkan kecakapan sesuai dengan tujuan.
3.
Siswa perlu diberi tahu
hasil yang telah dicapai. Dengan demikian, siswa perlu menyadari apakah
pembelajaran sudah dianggap cukup atau masih perlu bantuan.
C.
Pendekatan
Pengembangan Kurikulum
Pendekatan
dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang seseorng terhadap suatu
proses tertentu. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya
suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Dengan demikian, pendekatan
pengembangan kurikulum menunjuk pada pada titik tolak atau sudut pandang secara
umum tentang proses pengembangan kurikulum.[13]
Dilihat dari
cakupan pengembangannya apakah curriculum construction atau curriculum
improvement, ada dua pendekatan yang dapat diterapkan dalam pengembangan
kurikulum. Pertama, pendekatan top down atau pendekatan administratif,
yaitu pendekatan dengan sistem komando dari atas ke bawah, dan kedua adalah
pendekatan grass roots, atau pengembangan kurikulum yang diawali oleh
inisiatif dari bawah lalu disebarluaskan pada tingkat atau skala yang lebih
luas, dengan istilah singkat sering dinamakan pengembangan kurikulum dari bawah
ke atas.
1.
Pendekatan Top Down
Dikatan
pendekatan top down, disebabkan pengembangan kurikulum muncul atas
inisiatif para pejabat pendidikan atau para administrator atau dari para
pemegang kebijakan (pejabat) pejabat pendidikan seperti dirjen atau para kepala
kantor Wilayah.[14]
Pendekatan
top down bisa dilakukan baik untuk menyusun kurikulum yang benar-benar baru (curriculum
construction) ataupun untuk penyempurnaan kurikulum yang sudah ada (curriclum
improvement).
Prosedur
kerja atau proses pengembangan kurikulum model ini dilakukan kira-kira sebagai
berikut.
Langkah
Pertama, dimulai dengan pembentukan tim pengarah oleh pejabat
pendidikan. Anggota ini terdiri dari para pengawas pendidikan, ahli kurikulum,
para ahli dsiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kera. Tugas tim ini adalah
merumuskan konsep dasar, garis-garis besar kebijakan, menyiapkan rumusan
falsafah, dan tujuan umum pendidikan.
Langkah
kedua, adalah menyusun tim atau kelompok kerjauntuk menjabarkan
kebijakan atau rumusan-rumusan yang telah disusun oleh pengarah tim. Anggota
dari kelompok ini adalah para ahli kurikulum, para ahli disiplin ilmu dari
perguruan tinggi, bahkan guru-guru senior yang sudah dianggap berpengalaman.
Tugas dari tim ini yaitu merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional dari
tujuan-tujuan umum, memilih dan menyusun sequence bahan pelajaran,
memilih strategi pengajaran dan alat atau petunjuk evaluasi, serta menyusun
pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru.
Ketiga,
apabila kurikulum sudah selesai disusun oleh tim atau kelompok kerja, selanjutnya
hasilnya diserahkan kepada tim perumus untuk dikaji dan diberi catatan atau
direvisi.
Keempat,
para administrator selanjutnya memerintahkan kepada setipa sekolah
untuk mengimplementasikan kurikulum yang telah tersusun itu.
Dari
langkah-langkah pengembangan seperti di atas, maka tampak jelas bahwa inisiatif
penyempurnaan atau perubahan kurikulum mulai dari pemegang kebijakan kurikulum,
atau para pejabat yang berhubungan dengan pendidkan, sedangkan tugas guru hanya
sebagai pelaksana kurikulum yang telah ditentukan oleh para pemegang kebijakan.
Maka dari itulah, proses pengembangan degan pendekatan top down dinamakan
juga pendekatan dengan sistem komando.
2.
Pendekatan Grass
Roots
Dalam
pendekatan ini, inisiatif pengembangan kurikulum dimulai dari lapangan atau
dari guru-guru sebagai implementator, kemudian menyebar pada lingkungan yng
lebih luas, makanya pendekatan ni dinamakan juga pengembangan kurikulum dari
bawah ke atas. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka pendekatan ini lebih
banyak digunakan dalam penyempurnaan kurikulum (curriculum improvement),
walaupun dalam skala yang terbatas mungkin juga digunakan dalam pengembangan
kurikulum baru (curriculum construction).[15]
Model ini didasarkan
pada dua pandangan pokok, yaitu: pertama, implementasi kurikulum akan
lebh berhasil apabila guru-guru sebagai pelaksana sudah dari sejak semula
terlibat secara langsung dalam pengembangan kurikulum. Kedua, pengembangan
kurikulum bukan hanya melibatkan personel yang profesional (guru) saja, tetapi
siswa, orang tua, dan anggota masyarakat. Dalam kegiatan pengembangan kurikulum
demikian, kerja sama dengan orang tua murid dan masyarakat sangatlah penting.
Kerja sama di antara sesama guru dengan sendirinya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari model ini.
Model grass-roots
ini didasarkan atas empat prinsip, yaitu: (a) kurikulum akan bertambah baik,
jika kemampuan profesional guru bertambah baik; (b) kompetensi guru akan
bertambah baik, jika guru terlibat secara pribadi di dalam merevisi kurikulum;
(c) jika guru terlibat dalam merumuskan tujuan yang ingin dicapai, menyeleksi,
mendefinisikan dan memecahkan masalah, mengevaluasi hasil, maka hasil
pengembangan kurikulum akan lebih bermakna; dan (d) hendaknya di antara
guru-guru terjadi kontak langsung sehingga mereka dapat saling memahami dan
mencapai suatu konsensus tentang prinsip-prinsip dasar, tujuan, dan rencana.
Namun, Jika
dilihat dari aspek perencanaannya, ada
beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum, antara
lain sebagai berikut:[16]
1.
Pendekatan
kompetensi (Competency Approach)
Kompetensi
adalah jalinan terpadu yang unik antara pengetahuan, keterampilan, sikap dan
nilai-nilai yang direfleksikan dalam pola pikir dan pola bertindak. Pendekatan
ini menitikberatkan pada semua ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.
Ciri-ciri pokok dari pendektan ini adalah berpikir teratur dan sistematik,
sasaran penilaian lebih difokuskan pada tingkat penguasaan, dan kemampuan
memperbarui diri (regenerative capability).
Prosedur
penggunaan pendekatan ini adalah (a) menetapakan standar kompetensi lulusan
yang harus dikuasai oleh para lulusan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan,
(b) memerinci perangkat kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh para lulusan,
(c) menetapkan bentuk dan kualitas pengalaman belajar melalui bidang studi atau
mata pelajaran (jika perlu menciptakan mata pelajaran baru) dan
kegiatan-kegiatan pendukung lainnya yang relevan, (d) mengembangkan silabus,
(e) mengembangkan skenario belajar, (f) mengembangkan perangkat lunak (soft-ware)
pembelajaran, dan (g) mengembangkan sistem penilaian.[17]
Menurut
Warijan dkk (1984) mengemukakan langkah-langkah pengembangan kurikulum
berdasarkan pendekatan kompetensi, yaitu “mengidentifikasi kompetensi,
merumuskan tujuan pendidikan, menyusun pengalaman belajar, menetapkan topik dan
subtopik, menetapkan waktu, memberi nama mata pelajaran, dan menetapkan bobot
SKS”.
a.
Mengidentifikasi
kompetensi, yaitu menetapkan dan mendeskripsikan ciri-ciri, jenis dan mutu
kompetensi yang harus dimiliki peserta didik agar dapat melaksanakan
tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu atau melaksanakan tugas untuk
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
b.
Merumuskan tujuan
pendidikan, yaitu memperlakukan kompetensi yang telah diidentifikasi pada poin
(a) sebagai tujuan institusional. Dari tujuan institusional itu dapat
dirumuskan tujuan-tujuan kurikuler dan tujuan-tujuan pembelajaran dengan cara
menjabarkan kompetensi itu.
c.
Menyusun pengalaman
belajar, yaitu menyediakan pengalaman-pengalaman belajar yang diperlukan
peserta didik untuk dapat melaksanakan langkah-langkah tugas yang disebutkan
pada poin (b).
d.
Menetapkan topik dan
subtopik, yaitu mengidentifikasi pokok bahasan dan subtopik bahasan sebagai isi
atau persoalan-persoalan yang dibahas untuk memperoleh pengalaman-pengalaman
belajar yang disebutkan pada pin (c).
e.
Menetapkan waktu yang
diperlukan untuk mempelajari topik dan subtopik dengan memperhatikan kegiatan
tatap muka, berstruktur dan mandiri.
f.
Mengalokasikan waktu utnuk
tiap topik dan subtopik denagn menjawab pertanyaan “Berapa jam yang diperlukan
oleh peserta didik untuk mempelajari tiap topik dan subtopik?”
g.
Memberi nama mata pelajaran
dengan cara mengorganisasikan terlebih dahulu topik dan subtopik yang relevan
menjadi sattuan bahan pembelajaran.
h.
Menetapkan bobot SKS setiap
mata pelajaran sesuai dengan jumlah jam pelajaran yang diperlukan peserta
didik untuk mempelajari semua topik dan
subtopik dari sesuatu mata pelajaran.
Para pengembang kurikulum harus memberikan kesempatan
kepada peserta didikuntuk menilai penguasaan kemampuannya atas bahan yang akan
disajikan bahkan sebelum bahan tersebut dikerjakan (pre test).
Ciri pendekatan kompetensi yang tidak kalah pentingnya
adalah penjaringan dan pengolahan informasi balikan (feedback) secara
teratur untuk melakukan perbaikan secara berkesinambungan sehingga kurikulum
memiliki mekanisme untuk memperbaiki diri (regenerative capability),
baik tingkat lembaga maupun di tingkat nasional. Di Indonesia, pendekatan
kompetensi mulai dipopulerkan sejak awal tahun 1970-an melalui laporan studi
pra-investasi yang kemudian melahirkan kerjasama First-Indonesia-IBRD
Teacher Training Project antara pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia di
dalam peningkatan pendidikan guru. Pendekatan kompetensi baru diterapkan sejak
kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis kompetensi. (KBK).[18]
2.
Pendekatan Sistem (System
Approach)
Sistem adalah
totalitas atau keseluruhan komponen yang saling berfungsi, berinteraksi,
berinterelasi dan interdependensi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Komponen
sistem ada yang sederhana sehingga dapat ditetapkan terlebih dahulu, tetapi ada
juga yang kompleks sehingga belum dapat ditetapkan. Jika komponen-komponen
kurikulumnya sederhana, kita dapat melihatnya seperti gambar berikut ini:[19]
Gambar 1.1
Pendekatan Sistem dalam Pengembangan Kurikulum
Dalam pengembangan kurikulum mungkin
saja komponen-komponennya sangat kompleks sehingga hanya dapat dipertimbangkan
seperti sebuah kotak hitam (black box) yang mekanismenya tidak dapat dipahami
secara utuh. Perhatikan gambar berikut ini:[20]
Gambar 1.2
Model Black Box dalam Pendekatan Sistem
Berdasarkan gambar di atas, maka ciri-ciri sistem adalah adanya tujuan,
fungsi, kompone, interaksi, dan interdependensi, penggabungan yang menimbulkan
jalinan keterpaduan, proses transformasi, umpan balik untuk perbaikan, dan lingkungan
hidup.
Pendekatan sistem adalah penggunaan berbagai konsep yang serasi dari
teori sistem yang umum untuk mamahami teori organisasi dan praktik manajemen.
Pendekatan sistem terdiri atas beberapa aspek, antara lain: (a) filsafat
sistem, yaitu sebagai cara berpikir (way of thinking) tentang fenomena
secara keseluruhan, (b) analisis sistem, yaitu metode atau teknik di dalam
memecahkan masalah (problem of solving) atau pengambilan keputusan (decision
making), dan (c) manajemen sistem, yaitu aplikasi teori sistem di dalam
mengelola sistem organisasi.
Pendekatan sistem juga dapat diartikan sebagai suatu sistem yang berupa
proses. Inti dari pendekatan sistem yang berupa proses adalah merumuskan
masalah, mengidentifikasi strategi pemecahan masalah, dan evaluasi.[21]
3. Pendekatan
Klarifikasi Nilai (Value Clarification Approach)
Klarifikasi nilai adalah langkah pengambilan keputusan tentang prioritas
atas keyakinan sendiri berdasarkan pertimbangan yang rasional, logis, sesuai
dengan perasaannya dan perasaan orang lain serta aturan yang berlaku. Dalam
pendekatan ini menekankan agar peserta didik dapat mengemukakan pendapatnya
sendiri tentang isu-isu yang merupakan konflik nilai disamping ada pendapat
guru.[22]
Ciri-ciri pengembangan kurikulum berdasarkan pendekatan
klarifikasi nilai, antara lain: (a) peran guru kurang dominan dalam
pembelajaran, (b) guru sedikit memberikan informasi dan lebih banyak
mendengarkan penjelasan dari peserta didik, (c) guru lebih sering menggunakan
metode tanya jawab, (d) tidak banyak kritik dan destruktif, dan lain
sebagainya.
Tujuan dari klarifikasi nilai antara lain: (a)
mengukur dan mengetahui tingkat kesadaran peserta didik tentang suatu nilai,
(b) menyadarkan peserta didik tentang nilai-nilai yang dimilikinya, baik
tingkat maupun sifatnya, (c) menenamkan nilai kepada pserta didik melalui
contoh nyata atau keteladanan dan cara-cara yang rasional, yang dapat diterima
oleh peserta didik sebagai pemilik pribadinya.dalam pembelajaran tentang nilai
banyak teknik yang dapat digunakan, di antaranya: teknik evaluasi diri (self-evaluation)
dan evaluasi kelompok (group evaluation), ceramah (lecturing),
permainan (games), tanya jawab, dan lan sebagainya. pendekatan
klarifikasi nilai ini banyak digunakan pada mata pelajaran pendidikan agama,
pendidikan moral, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan budi pekerti, dan
pengembangan sikap.
4.
Pendekatan
Komprehensif (Comprehensive Approach)
Pendekatan ini melihat, memperhatikan, dan
menganalisis kurikulum secara keseluruhan. Semua masalah yang berkaitan dengan
kurikulum diidentifikasi secara global oleh pengembang kurikulum. Pendekatan
ini sama dengan pendekatan top down dikarenakan hal yang pertama
dilakukan adalah merumuskan filsafat pendidikan, visi-misi dan tujuan
pendidikan dan serta sasaran yang ingin dicapai. Setelah itu merancang
perencanaan dan strategi pelaksanaan guna mencapai sasaran. Dari hasil
percobaan tersebut dilakukan evaluasi terhadap perencanaan sebagai bahan feedback
untuk semua langkah yang telah dilakukan. Selanjutnya, dilakukan revisi dan
penyempurnaan terhadap pendekatan secara keseluruhan. Sebelum pendekatan
tersebut diterapkan di sekolah, sebaiknya guru dilibatkan dalam diskusi
kelompok kecil untuk memperoleh masukan-masukan yang positif dan konstruktif.[23]
5.
Pendekatan yang
Berpusat pada Masalah (Problem-Centered Approach)
Pengembangan kurikulum dengan pendekatan ini dilakukan
dengan cara mengidentifikasi berbagai masalah kurikulum secara khusus. Para
guru diminta berbagai informasi tentang masalah-masalah, keinginan atau
harapan, dan kesulitan-keulitan yang mereka hadapi dalam mata pelajaran,
seperti perbaikan cara penampilan, penggunaan multimetode dan media dalam
pembelajaran, serta sistem penilaian. Melalui pendekatan ini, guru merasa
sangat dihargai karena pendapat atau saran mereka didengar bahkan dijadikan
bahan pertimbangan dalam pengembangan kurikulum. Pengembang kurikulum harus
duduk bersama guru untuk membahas silabus yang berlaku dan mencari aleternatif
pemecahannya.[24]
6.
Pendekatan Terpadu
Pendekatan ini bertitik tolak dari suatu keseluruhan atau
kesatuan yang bermakna dan berstruktur. Keseluruhan bukanlah penjumlahan dari
bagian-bagian, melainan suatu totalitas yang memiliki makna sendiri. Pendekatan
terpadu adalah suatu pendekatan yang memadukan keseluruhan bagian dan
indikator-indikatornya dalam suatu bingkai kurikulum untuk mencapai tujuan
tertentu. Bagian yang dimaksud menggambarkan (a) hasil belajar peserta didik
(kognitif, afektif dan psikomotor), (b) tahap-tahap pengembangan kurikulum
(perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan pengendalian), dan (c)
program pendidikan yang ditawarkan, seperti program pendidikan umum, program
pendidikan agama, dan program pendidikan pilihan. Pendekatan terpadu dapat
dilaksanakan dalam berbagai tingkatan, baik pada tingkat makro, tingkat
instuisi, tingkat mikro, maupun tingkat individual. Dalam studi tentang
kurikulum terdapat juga dua pendekatan populer, yaitu pendekatan sentralisasi
dan pendekatan desentralisasi.
a.
Pendekatan
Sentralisasi
Pendekatan ini sering juga disebut pendekatan top
down, yaitu pendekatan dengan menggunakan sistem komando (dari atas ke
bawah).
b.
Pendekatan
Desentralisai (Decentrelized Approach)
Pendekatan ini disebut juga pendekatan grass-rooth,
yaitu suatu pendekatan yang dimulai dari akar rumput, dalam hal ini adalah
guru sebagai ujung tombak pengembangkurikulum di tingkat sekolah, baik secara
individual atau kelompok.[25]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Yang dimaksud desain adalah rancangan, pola, atau
model. Mendesain kurikulum berarti menyusun rancangan atau menyusun model
kurikulum sesuai dengan misi dan visi sekolah.
Desain kurikulum yang berorientasi pada anak didik,
dapat dilihat minimal dari dua perspektif, yaitu perspektif kehidupan anak d
masyarakat (the child-in-society perspective) dan perspektif psikologi (the
psychological curriculum perspective). Dilihat dari cakupan pengembangannya
apakah curriculum construction atau curriculum improvement, ada
dua pendekatan yang dapat diterapkan dalam pengembangan kurikulum. Pertama,
pendekatan top down atau pendekatan administratif, yaitu pendekatan
dengan sistem komando dari atas ke bawah, dan kedua adalah pendekatan grass
roots, atau pengembangan kurikulum yang diawali oleh inisiatif dari bawah
lalu disebarluaskan pada tingkat atau skala yang lebih luas, dengan istilah singkat
sering dinamakan pengembangan kurikulum dari bawah ke atas.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Zainal, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2011.
Idi, Abdullah,
Pengembangan Kurikulum Teori dan Prakti, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Nasution,
S, Asas-Asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009.
Subandijah, Pengembangan
dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: Grafindo,1986.
Sukmadinata,
Nana S. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2002.
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan
Pembelajaran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
[1] Wina
Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group), 63.
[2]
Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2007), 193.
[3] Oemar
Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan,...193.
[4] Wina
Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran,... 65.
[5] Ibid.,
66.
[6] Ibid.,
67.
[7]
Sukmadinata, Nana, S., Pengembangan Kurikulum: teori dan Praktek (Bandung:
PT Rosda Karya, 2002), 78.
[8] Wina
Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, ..., 72.
[9] Ibid.,
73.
[10] Ibid.,
74.
[11] Ibid.,
75.
[12] Ibid.,
76.
[13] Ibid.,
77.
[14] Ibid.,
78.
[15] Wina
Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, ... 79.
[16]
Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2011 ), 113.
[17] Ibid.,
114.
[18] Ibid.,
115-116.
[19] Ibid.,
117.
[20] Ibid.,
118.
[21] Ibid.,
119.
[22] Ibid.,
120.
[23] Ibid.,
122.
[24] Ibid.,
123.
[25] Ibid.,
126.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar