Apakah hamilul Qur'an dan tahfidhul Qu'an itu ? Apakah keduanya memiliki kesaman dan perbedaan ?
Hafidh al-Qur’an adalah sebutan umum bagi orang yang menghafal/ hafal
al-Qur’an. Mereka adalah golongan yang diberikan anugerah oleh Allah
karena termasuk keluarga-Nya di dunia ini. Namun istilah hafidh dengan
hamilul qur’an berbeda. Kalau hafidh konotasinya sebatas apa yang
dijelaskan di atas, namun hamilul qur’an
lebih luas lagi. Sebagaimana ibu yang mengandung, yang selalu dibawa
kemana-mana, tak dapat dititipkan apalagi ditinggal, seorang hamilul
qur’an pun demikian. Mereka adalah orang yang benar-benar menjaga
al-Qur’an baik dari segi hafalannya, pemahaman maknanya dan perilakunya
yang selalu dihiasi dengan nilai-nilai al-Qur’an. Orang semacam inilah
yang kiranya pantas disebut Ahlullah/ keluarga Allah. Di dalam al-Qur’an
(QS. Fathir 32) telah dibagi menjadi beberapa kategori derajat manusia,
termasuk orang-orang yang hafidh al-Qur’an:
1. Dzolimun linafsihi, yaitu orang yang lebih banyak kesalahan dan kelalaiannya daripada kebaikannya
2. Muqtashid, yaitu pertengahan, seimbang antara amal kebaikan dan kejelekannya
3. Sabiqun bil khoirot, yaitu orang-orang yang mendahului dalam hal
kebaikan. Mereka golongan orang-orang yang selalu mengingat Allah di
setiap hembusan nafasnya.
Menurut Ar-Razi bahwa yang dimaksud orang
yang dzalim ialah yang menyalahi isi al-Qur’an, ia meletakkan sesuatu
tidak pada tempatnya. Orang yang muqtashid adalah yang selalu berusaha
meninggalkan hal yang dilarang Allah, meskipun dengan perjuangan yang
hebat, maka dia menjadi selalu mawas diri jangan sampai melanggar Tuhan,
selalu menuju yang benar. Sedangkan sabiqun bil khoirot ialah yang
tidak pernah melanggar perintah dengan taufiq dari Allah SWT.
Jadi
pada intinya, antara manusia biasa dan orang yang hafidh al-Qur’an itu
tidak ada bedanya. Yang dapat membedakan semata hanyalah ketaqwaan
mereka. Oleh karena itu, sangat memungkinkan jika orang yang hafidh
al-Qur’an itu melakukan kedzaliman, contohnya mereka yang berpacaran
dengan praktik yang dilarang agama. Hal ini sesuai dengan pendapat
beberapa ulama’ yang mengatakan bahwa penyebutan dzolimun linafsihi
didahulukan adalah karena kebanyakan manusia seperti itu, mereka dzalim
terhadap dirinya sendiri. Maka seyogyanya kita pun berhati-hati dalam
menjaga anugerah (al-Qur’an) yang besar ini.
semoga bermanfaat . . . :)
itu refrensinya darimana ya mbak? coz sulit bgt nyari refrensi ttg hamilul qur'an, kebetulan itu jadi bahan skripsi saya, hehe
BalasHapusPengahafal ayat suci Al Qur'an walaupun satu ayat kemudian dia mengamalkannya hingga membentuk pribadinya dialah penjaga Al Qur'an, maka Alloh sebagai penjaganya.
BalasHapus