Rabu, 08 Januari 2014

Apakah hamilul Qur'an dan tahfidhul Qu'an itu ? Apakah keduanya memiliki kesaman dan perbedaan ?
Hafidh al-Qur’an adalah sebutan umum bagi orang yang menghafal/ hafal al-Qur’an. Mereka adalah golongan yang diberikan anugerah oleh Allah karena termasuk keluarga-Nya di dunia ini. Namun istilah hafidh dengan hamilul qur’an berbeda. Kalau hafidh konotasinya sebatas apa yang dijelaskan di atas, namun hamilul qur’an lebih luas lagi. Sebagaimana ibu yang mengandung, yang selalu dibawa kemana-mana, tak dapat dititipkan apalagi ditinggal, seorang hamilul qur’an pun demikian. Mereka adalah orang yang benar-benar menjaga al-Qur’an baik dari segi hafalannya, pemahaman maknanya dan perilakunya yang selalu dihiasi dengan nilai-nilai al-Qur’an. Orang semacam inilah yang kiranya pantas disebut Ahlullah/ keluarga Allah. Di dalam al-Qur’an (QS. Fathir 32) telah dibagi menjadi beberapa kategori derajat manusia, termasuk orang-orang yang hafidh al-Qur’an:
1. Dzolimun linafsihi, yaitu orang yang lebih banyak kesalahan dan kelalaiannya daripada kebaikannya
2. Muqtashid, yaitu pertengahan, seimbang antara amal kebaikan dan kejelekannya
3. Sabiqun bil khoirot, yaitu orang-orang yang mendahului dalam hal kebaikan. Mereka golongan orang-orang yang selalu mengingat Allah di setiap hembusan nafasnya.
Menurut Ar-Razi bahwa yang dimaksud orang yang dzalim ialah yang menyalahi isi al-Qur’an, ia meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Orang yang muqtashid adalah yang selalu berusaha meninggalkan hal yang dilarang Allah, meskipun dengan perjuangan yang hebat, maka dia menjadi selalu mawas diri jangan sampai melanggar Tuhan, selalu menuju yang benar. Sedangkan sabiqun bil khoirot ialah yang tidak pernah melanggar perintah dengan taufiq dari Allah SWT.
Jadi pada intinya, antara manusia biasa dan orang yang hafidh al-Qur’an itu tidak ada bedanya. Yang dapat membedakan semata hanyalah ketaqwaan mereka. Oleh karena itu, sangat memungkinkan jika orang yang hafidh al-Qur’an itu melakukan kedzaliman, contohnya mereka yang berpacaran dengan praktik yang dilarang agama. Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa ulama’ yang mengatakan bahwa penyebutan dzolimun linafsihi didahulukan adalah karena kebanyakan manusia seperti itu, mereka dzalim terhadap dirinya sendiri. Maka seyogyanya kita pun berhati-hati dalam menjaga anugerah (al-Qur’an) yang besar ini.



semoga bermanfaat  . .  . :)

2 komentar:

  1. itu refrensinya darimana ya mbak? coz sulit bgt nyari refrensi ttg hamilul qur'an, kebetulan itu jadi bahan skripsi saya, hehe

    BalasHapus
  2. Pengahafal ayat suci Al Qur'an walaupun satu ayat kemudian dia mengamalkannya hingga membentuk pribadinya dialah penjaga Al Qur'an, maka Alloh sebagai penjaganya.

    BalasHapus