Kamis, 26 Desember 2013

 
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
Pengarang       : Pramoedya Ananta Toer

Novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya ini adalah novel kelimanya yang telah diterbitkan oleh KPG. Novel ini sebenarnya juga disusun oleh Koesalah Soebagyo Toer dan Ediati Kamil beserta cerita-cerita dari dari digul. Novel ini sebenarnya adalah sebuah kumpulan catatan tentang kisah para perawan yang masih remaja semasa awal kependudukan Jepang sampai setelah Jepang menyerah kepada pihak sekutu. Novel ini terdiri dari delapan bab yang kesemuanya merupakan cerita menyedihkan tentang kehidupan rakyat Indonesia terutama para wanitanya yang dijadikan sebagai budak.
            Pendudukan Jepang yang berlangsung pada maret 1942 sampai agustus 1945 di Indonesia telah membuat seluruh lapisan masyarakat hidup dalam kekurangan, kelaparan, dan kemiskinan. Begitu juga dengan keadaan perawan remaja pada saat itu, sandang dan pangan merupakan penderitaan yang tiada habisnya karena dua hal tersebut sangat sulit dicari. Akan tetapi muncul sedikit pengharapan dari pihak pemerintah Dai Nippon itu sendiri. Sayup-sayup terdengar kabar bahwa pemerintah Dai Nippon akan memberikan janji untuk belajar kepada seluruh pemuda dan pemudi Indonesia ke Tokyo dan Singapura. Janji tersebut didengar oleh Pram pada tahun 1943 saat bekerja sebagai juru ketik di kantor Domei. Janji tersebut sebenarnya hanya menjadi desas-desus semata karena tidak ada berita tentang janji tersebut yang tercetak pada media massa tetapi karena janji tersebut yang mengeluarkan adalah pihak Dai Nippon maka janji tersebut pasti akan terrealisasi.
            Janji itu benar-benar direalisasikan mulai pada tahun 1943. Pemerintah Dai Nippon memerintahkan kepada semua orang tua yang mempunyai anak gadis untuk segera mendaftarkannya kepada penerintah. Maksud pendaftaran anak gadis tersebut adalah untuk mereka akan disekolahkan. Ternyata janji Jepang tersebut mendapat respon yang hangat dari para perawan Indonesia itu. Respon hangat yang keluar dari para perawan ini muncul karena beberapa alasan. Alasan yang pertama adalah gadis-gadis yang hatinya penuh berisikan cita-cita mulia untuk maju dan berbakti pada masyarakat dan bangsanya akan lebih mudah terpikat dengan janji sekolah di luar negeri yang dijanjikan pihak Jepang tersebut tanpa berpikiran panjang. Yang kedua mengenai keadaan di Indonesia yang sangat mencekik memudahkan orang untuk melarikan diri kepada khayalan, sehingga mudah untuk masuk ke perangkan Jepang. Alasan terakhir adalah peran orang tua yang mengabdi pada Jepang.
            Ketiga alasan tersebut membuat para gadis tersebut dengan senang hati ataupun berat hati harus menjalankan perintah Jepang terssebut. Para gadis tersebut diangkut oleh Jepang dengan mnggunakan kapal-kapal di pelabuhan. Siapapun tak bisa menolak perintah Jepang tersebut karena pihak Jepang tidak segan-segan memperlihatkan kekejaman, kekerasan dan kekejian yang sangat memuakkan kepada rakyat Indonesia. Orang tua para gadis tersebut sebenarnya tidak rela anak gadisnya diambil akan tetapi mereka terpaksa melakukannya krena rasa takut terhadap pemerintahan jepang tersebut. Para gadis yang telah diberangkatkan oleh Jepang tersebut sangat sulit untuk meloloskan diri dari jeratan Dai Nippon tersebut.
            Jepang melakukan berbagai cara agar para gadis tersebut sulit meloloskan diri. Mereka membuat rumah-rumah yang menjadi tempat penampungan menjadi tempat yang sangat tertutup. Pagar-pagar tinggi, kawat berduri dan penjagaan yang ketat membuat selurh kegiatan yang dilakukan dalam rumah tersebut tidak bisa diketahui oleh pihak luar. Sebenarnya hal tersebut menunjukkan bahwa Jepang tidak mau kejahatan yang dia lakukan diketahui oleh masyarakat luar. Pihak Jepang juga melakukan berbagai usaha agar kegiatan mengangkut para perawan tersebut tidak diketahui oleh masyarakat luar. Salah satu cara yang dilakukan oleh Jepang adalah dengan tidak memuat berita tentang pengangkutan tersebut dalam semua media massa yang ada. Hal ini agar pihak Jepang dapat mudah menghilangkan jejak kriminalnya. Pengumuman resmi dan angka-angka seberapa banyak gadis yang diangkutnya sama sekali dihapus sebelum berita tersebut beredar.
            Setelah para perawan itu dikumpulkan dalam sebuah rumah pengepolan kemudian pihak Jepang mengangkut mereka dalam sebuah kapal. Selain itu ada para perawan yang langsung dijemput dan dibawa ke kapal tanpa melalui tempat pengepolan tersebut. Pihak Jepang mengatakan kepada para perawan tersebut akan berlayar ke Tokyo dan Singapura untuk belajar. Akan tetapi semua janji-janji yang dikatakan Jepang itu hanyalah sebuah bualan dan awal dari siksaan yang akan mereka alami selama hidupnya. Sukarno Martodihardjo adalah salah satu saksi dari cerita para perawan yang diangkut dalam kapal Jepang tersebut. Di atas kapal sebenarnya pihak Jepang memperlakukan para perawan tersebut dengan patut dan baik tetapi setelah mereka diturunkan di tempat yang tidak mereka duga sebelumnya perlakuan Jepang menjadi berubah.
            Mereka diturunkan bukan di Tokyo atau Siangapura untuk belajar tetapi mereka diturunkan di daerah perang di mana prajurit Jepang menunggu kedatangan mereka. Mereka tidak hanya diturunkan di wilayah Indonesia tetapi mereka juga diturunkan di luar wilayah Indonesia oleh Jepang. Cita-cita mulia untuk belajar dan memimpin bangsa Indonesia yang dimiliki oleh para gadis tersebut seketika hilang karena direnggut oleh para prajurit Jepang tersebut. Para perawan tersebut menjadi pemuas nafsu birahi para prajurit Jepang. Kesucian dan harga diri mereka hilang bersama janji Jepang untuk menyekolahkan mereka. Mereka dipaksa untuk melayani para tentara Jepang tersebut sampai tubuh mereka kewalahan. Kondisi perawan-perawan tersebut sangat memprihatinkan. Tidak ada yang bisa menolong mereka dari cengkraman para prajurit Jepang.
            Siksaan yang mereka alami tidak berhenti di situ. Ketika Jepang kalah dalam perang Asia Timur Raya seketika itu juga pihak Jepang melepaskan tanggung jawabnya terhadap para perawan remaja yang mereka angkut dari Jawa. Para perawan itu menjadi seperti ayam yang dilepaskan dari kandang yang terbakar. Usaha-usaha Jepang untuk mencuci tangannya dari kejahatan yang telah mereka lakukan terhadap para perawan tersebut bisa dikatakan berhasil. Hal itu didasari oleh beberapa alasan yang kebanyakan disebabkan oleh Indonesia sendiri. Alasan pertama adalah Indonesia sebagai pihak penggugat belum memiliki bahan otentik untuk menggugat. Yang kedua adalah saat itu Indonesia sedang terlibat dalam perjuangan senjata untuk mempertahankan kemerdekaanya. Ketiga saat itu republik Indonesia yang masih sangat muda masih mengalami pertentangan kepartaian yang berlarut-larut. Dan yang terakhir mengenai keteledoran dari pihak RI sendiri. Alasan di atas membuat Jepang berhasil lepas dari tanggung jawab terhadap perbuatan yang telah dilakukannya.
            Para perawan tersebut lalu menjadi seorang buangan yang terlupakan. Mereka sangat berkeinginan untuk pulang tetapi mereka sama sekali tidak mengetahui bagaimana cara untuk pulang. Mereka tidak mempunyai harta benda sedikitpun sebagai biaya untuk pulang. Mereka dilepas oleh Jepang tanpa tanggung jawab, tanpa pesangon, tanpa fasilitas dan tanpa terima kasih. Mereka hanya diserahkan kepada naluri hidup masing-masing. Parahnya lagi mereka tidak mendapatkan perlindungan dan pelayanan hukum dari pemerintah RI. Akhirnya mereka menjadi buangan yang terlupakan di daerah-daerah dahulu mereka diturunkan oleh Jepang.
            Bab selanjutnya dalam novel ini banyak menceritakan tentang bagaimana kehidupan para buangan perawan tersebut di Pulau Buru. Pramoedya dan teman-temannya yang menjadi tahanan politik semula berada di Pulau Nusa Kambangan di pindahkan ke pembuangan di Pulau Buru. Mereka berangkat menggunakan kapal pada 16 Agustus 1969 dan sampai di Pulau Buru setelah sebelas hari berlayar. Mereka ditempatkan di sebuah savana pedalaman bernama Wanayasa. Di tempat ini banyak pengalaman menarik yang dilaluinya. Pengalaman tersebut mengenai para buangan sebelum mereka yaitu para perawan yang dijanjikan bersekolah oleh Jepang yang telah berubah menjadi nenek-nenek di Pulau Buru. Pramoedya menceritakan pengalaman teman-teman dan dirinya yang bertemu dengan para perawan buangan tersebut. Rodius Sutanto adalah seorang yang bertemu dengan dua orang perawan buangan yang berasal dari Jawa Tengah. Mereka tidak menyebutkan nama dan tempat tinggalnya di pulau tersebut. Menurut Rodius umur mereka sekitar 50-an tahun. Kedua orang tersebut adalah perawan yang dibawa Jepang pada tahun 1944. Ketika mereka ditanya oleh Rodius tentang keinginan mereka untuk pulang ke Jawa mereka menjawab tidak ingin karena malu terhadap keluarga dan teman-temannya.
            Pertemuan lain dialami oleh Suyud yang berasal dari Semarang. Pada saat Juli 1942 ketika dia beristirahat di dekat Wai Apu ada seorang penduduk menemui dia dan berkata bahwa ada seorang penduduk wanita sedang mencari tapol dari Semarang. Setelah Suyud pergi ke kampung Wai Grending, ia bertemu dengan wanita setengah tua bernama Sutinah. Sutinah adalah seorang asli Semarang yang ditipu oleh Jepang dan dijadikan sebagai pelacur untuk prajurit Jepang di daerah Pulau Buru. Sutinah berhasil melarikan diri berkat bantuan seorang penduduk laki-laki Alfuru yang kemudian menjadi suaminya. Sebenarnya dia ingin pulang ke Jawa dan meminta Suyud untuk membawanya ketika Suyud bebas dari Pulau Buru tetapi hal tersebut hanyalah sebuah impian. Cerita lain tentang para perawan tersebut terjadi ketika Sulastri yang berasal dari Semarang menampakkan diri di Wanasurya. Sulastri sambil bercucuran air mata mengutarakan maksudnya agar dibawa serta pulang ke Jawa akan tetapi hal tersebut dilarang oleh suaminya yang merupakan pribumi di sana. Ma’at dan sudadi dua orang penggergaji yang bertemu dengan Suwarti yang juga berasal dari Semarang. Suwarti juga merupakan salah satu korban penipuan Jepang tersebut. Ia diberangkatkan bersama 228 teman lainnya dari Pulau Jawa, dia diturunkan di Pulau Buru. Kemudian mereka digiring oleh Jepang ke dalam sebuah benteng bawah tanah yang berada di kaki Gunung Pala(t)Mada. Di sana mereka dijadikan sebagai pemuas nafsu tentara Jepang dan ketika Jepang kalah mereka dilepas begitu saja.
            Trisuti Rahmadi seorang dalang dalam pembuangan mengisahkan cerita lain. Pada tahun 1974 dia bertemu seorang perempuan, dia lupa tidak bertanya namanya, yang juga korban Jepang dan dibawa ke Jepang ke sebuah asrama di Pulau Manipah. Pada saat Jepang kalah mereka ditelantarkan dan dia dibawa ke Pulau Buru oleh seorang laki-laki Alfuru. Ia mengatakan ingin pulang ke Jawa dan seketika itu dia juga hilang di balik rumpun bambu. Sarony dari perkampungan Wanasurya juga bertemu dengan korban Jepang yang berasal Semarang. Ia ingin bertemu dengan orang sedaerahnya yang mengenal keluarganya. Pertemuan yang berkali-kali terjadi adalah dengan Sumiyati tetapi tidak banyak keterangan yang didapat darinya. Pertemuan dengan para perawan yang sudah menjadi nenek tersebut terjadi lagi pada tahun 1976. Cerita itu dicuplik dari catatan Soeprihono Koeswadi yang bertemu dengan seorang wanita buangan bernama Kartini. Kartini kelahiran Semarang yang sudah lama tinggal di Buru sejak jaman Jepang hampir bubar. Setelah Kartini menjadi boneka Jepang kemudian dia lari masuk hutan dan bertemu seorang Alfuru yang menjadi suaminya. Kartini sudah tidak berhasrat untuk pulang ke Jawa. Itulah beberapa pertemuan dengan para perawan Jawa yang telah ditipu Jepang. Mereka tetap ada di Pulau Buru pada tahun 1978. Kebanyakan dari mereka menjadi seorang istri dari orang Alfuru sehingga harus mematuhi adat istiadat yang ada dan mereka harus hidup jauh di bawah taraf peradaban dan kebudayaan asal mereka
            Catatan Pram terus berlanjut ketika ia mengenal perempuan yang dipanggil Bu F. Tersiar kabar bahwa Bu F adalah seorang Sunda, hal tersebut didasari bahwa dia sedang mencari orang Jawa Barat yang bernama Kosasih. Bukti yang sangat kuat datang dari Daswian yang dipanggil Oking. Oking berasal dari Subang, Jawa Barat dan ternyata mempunyai hubungan kerabat dengan Bu F. Kosasih yang selama ini dicari Bu F ternyata adalah ayah dari Oking dan merupakan kakak dari Bu F. Bu F ternyata adalah bibi Oking yang dibawa Jepang untuk menjadi pelacur. Siti Fatimah adalah nama asli dari Bu F lahir pada1927 anak asisten Wedana Subang. Cerita selanjutnya mengenai Bolansar yang mempunyai nama Buru Muka Jawa. Bolansar adalah nama setempat sedangkan aslinya adalah Bu Lanjar. Bolansar merupakan orang Jawa kelahiran Pemalang, sekarang ia hidup di pedalaman Pulau Buru. Rony dan Wai Durat adalah dua orang yang mencatat perjalanan mereka untuk menemui Bolansar. Usaha mereka berdua untuk mengorek keterangan tentang identitas dari Bolansar agak menemui ganjalan sebab Bolansar sendiri yang tidak ingin untuk menjabarkan kisah hidupnya selama menjadi buangan di Pulau Buru. Bolansar tidak ingin melanggar pamali yang ada di hukum adat istiadatnya. Dia sudah terikat dengan adat istiadat di sana dan takut disiksa oleh suaminya jika ketahuan melanggarnya. Ia pun tidak mau untuk di ajak pindah dari tempat itu agar mendapatkan perhatian yang lebih baik.
            Bab terakhir dalam novel tersebut mengenai pencarian Ibu Mulyati dari Klaten. Nama Mulyati baru diketahui ketika Sarony mencari keterangan mengenai identitas para perawan yang menjadi buangan di Pulau Buru. Sarony bertanya dengan kepala adat kampung Bamaniwelaheng yang bernama Lige. Lige menceritakan bahwa ada seorang perempuan bernama Malat yang berasal dari Klaten. Malat adalah nama panggilan dari para Jepang dan penduduk Alfuru sedangkan Bu F yang mengenal beliau memanggilnya Yati. Dari keterangan tersebut diketahui bahwa nama beliau adalah Mulyati. Kini ia menjadi seoarng istri Kepala Soa Wai Temon Latun tetapi dia membelot dari suaminya tersebut dan mendirikan kampung baru bersama pengikutnya. Atas keterangan yang samar-samar tersebut Sarony bersama teman-temannya memberanikan diri untuk mencarinya. Sarony menuliskan perjalanan mencari Ibu Mulyati tersebut yang memakan waktu lebih dari 20 jam. Dalam catatan ini selain memapaparkan usaha-usaha Sarony dan kawan-kawannya untuk bertemu dengan Mulayati juga menceritakan keindahan alam yang terdapat di Pulau Buru pedalaman.
Keindahan-keindahan alam tersebut diceritakan dengan sangat detail oleh Sarony. Pegunungan, bukit-bukit dan sungai yang dilaluinya diceritakan dengan sangat baik. Catatan itu juga sarat memuat tentang materi antropologi budaya. Kebudayaan dari para suku Alfuru yang menjadi penduduk asli di sana digambarkan dengan sangat jelas dan detail. Kampung-kampung yang menjadi tempat persinggahannya dilukiskannya dengan keterangan yang mendetail. Adat istiadat yang menjadi hukum tertinggi yang berlaku di sana dan peradaban penduduknya juga dicatatnya dengan baik. Peristiwa yang mereka alami selama perjalanan menunjukan memerlukan usaha keras untuk menaklukannya misalnya banjir yang tiba-tiba datang, bukit-bukit yang licin untuk didaki dan hujan yang membuat badan mereka basah kuyup. Ada juga pengalaman Mantir, teman Sarony, yang menjadi mantri untuk mengobati para penduduk yang sedang terserang penyakit. Mantir yang mengobati dengan cara modern agak bertentangan dengan cara penduduk Alfuru yang masih percaya pada roh-roh nenek moyang yang akan menyembuhkannya. Akan tetapi dalam catatan ini masih banyak percakapan yang menggunakan bahasa Buru setempat sehingga ada sebagian yang sulit untuk dipahami maksudnya. Setelah mereka bertemu dengan Ibu Mulyati di desa Wai temon agaknya usaha mereka untuk berbicara dan menolong Ibu mulyati gagal dan sudah terlambat. Ibu Mulyati sama sekali tak mau berbicara dengan Sarony, mungkin karena hukum adat yang tidak memperbolehkan perempuan berbicara selain bahasa Buru. Ibu Mulyati sudah berubah menjadi nenek yang rabun penglihatannya dan rapuh tubuhnya. Siksaan Jepang dan tindakan yang dia terima di pembuangan selama ini telah menjadikannya seperti itu. Usaha keras mereka tidak sepenuhnya gagal karena mereka telah menemukan ibu Mulyati dari Klaten tersebut dengan keadaan yang memprihatinkan.
            Janji Jepang terhadap para perawan Jawa yang akan mengirim mereka ke Tokyo dan Singapura untuk bersekolah ternyata hanya sebagai jebakan untuk menjadikan mereka semua sebagai pemuas nafsu birahi dari para prajurit Jepang pada tahun 1943. Dan pada saat Jepang menyerah tanpa syarat pada 1945 para perawan remaja tersebut dilepas tanpa tanggung jawab oleh Jepang hingga akhirnya ada yang menjadi buangan di Pulau Buru. Mereka hidup di sana selama 35 tahun atau sekitar tahun 1978 menurut catatan Pramoedya. Kesatuan politik yang terbentuk dari novel ini adalah para tahanan politik di Pulau Buru yang menjadi buangan berusaha untuk mengumpulkan sejarah dari kejahatan perang Jepang.

Maka dari itu kita sebagai wanita Indonesia harus bahkan wajib bersyukur atas apa yang kita lakukan saat ini. Sejarah ini kita jadikan bukti bahwa perjuangan seorang wanita sangatlah berharga di banding  berharganya secuil emas dan perak. Mulai detik ini juga kita sebagai wanita Indonesia akan terus menjunjung keadilan dan kesejahteraan dalam membela tanah air kita tercinta ini.
SEMANGAT DAN  HIDUP WANITA INDONESIA :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar